Tampang

Kasus Pembunuhan Anak Lima Tahun di Lebak, Berawal dari Pesan Ancaman Yang Jadi Kenyataan, Bagaimana Kronologi dan Apa Motifnya?

26 Sep 2024 19:36 wib. 49
0 0
Kasus Pembunuhan Anak Lima Tahun di Lebak, Berawal dari Pesan Ancaman Yang Jadi Kenyataan, Bagaimana Kronologi dan Apa Motifnya?
Sumber foto: Google

“Secara ideal, polisi semestinya proaktif. Mereka punya kewenangan untuk itu, kecuali untuk kasus-kasus yang sifatnya delik aduan. Kalau konteksnya ancaman penculikan dan pembunuhan, tidak perlu aduan. Mereka bisa memprosesnya,” jelas Iftita.

Ini bukan kasus pertama di mana korban sempat melapor untuk mencari pertolongan kepada polisi, namun laporan itu tidak ditindaklanjuti hingga pelapor atau keluarganya berujung tewas. Pada Desember 2023, empat orang anak di Jagakarsa, Jakarta Selatan tewas dibunuh oleh ayahnya sendiri. Sebelumnya, pelaku telah dilaporkan oleh istrinya ke polisi atas dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Peristiwa serupa juga pernah terjadi di Bekasi pada September 2023. Perempuan berinisial MSD, 24, tewas akibat KDRT yang dilakukan suaminya. Sekitar satu bulan sebelumnya, MSD sempat melaporkan suaminya ke Polres Metro Bekasi. Dia juga melampirkan hasil visum mandiri sebagai bukti.

Pada Mei 2022, perempuan asal Bandung berinisial WS, 30, tewas bersimbah darah. Sebelumnya, WS sempat melapor ke polisi bahwa dia menerima ancaman pembunuhan dari pelaku. Iftita mengatakan rentetan kasus-kasus itu menunjukkan bahwa ada hal krusial yang perlu dibenahi dari kinerja kepolisian sejak menerima pengaduan masyarakat.

Bahkan dalam tahap ini, Iftita mengatakan hampir tak ada pengawasan terhadap kinerja polisi dalam menindaklanjuti pengaduan masyarakat hingga dalam beberapa kasus berdampak fatal seperti ini.

“Banyak aduan yang tidak ditindaklanjuti bahkan pelapor diminta mencari bukti sendiri. Padahal ini langkah awal dalam kinerja kepolisian,” kata Iftita.

Di sisi lain, sumber daya polisi yang tak sebanding dengan laporan yang masuk juga menjadi masalah tersendiri. Tapi dalam hal itu, ICJR juga punya catatan bahwa polisi nyatanya lebih banyak fokus pada kasus-kasus tertentu.

“Kerja polisi selama ini selalu fokus dengan kasus-kasus narkotika demi mengejar target KPI (key performance index) yang notabene gampang penangananya. Akhirnya polisi jadi enggak memprioritaskan kasus-kasus seperti ini,” sambungnya.

Pertanggungjawaban atas aduan yang menguap begitu saja pun dinilai tak cukup jelas.

“Untuk sekarang, penting juga untuk mendorong institusi Polri bertanggung jawab dan akuntabel. Kalau ada kasus yang masyarakat sudah lapor, sudah minta perlindungan, tapi tidak diproses secara kompeten semestinya ada mekanisme yang jalan idealnya,” kata Iftita.

“Entah itu menggugat melalui PTUN atau gugat perdata. Tapi selama ini pun masyarakat tidak aware (sadar) bahwa kita bisa menuntut hak kita sampai sejauh itu,” ujar dia.

Sanksi disiplin terhadap personel yang mengabaikan laporan pun tak pernah disorot secara jelas. Implikasi serius dari kasus ini adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap kinerja polisi, kata pengamat kepolisian Bambang Rukminto.

“Karena mereka selalu permisif terhadap anggotanya, dampaknya sangat fatal. Kepercayaan masyarakat ke polisi semakin rendah. Yang paling fatal ya terhadap pelapor sendiri, hilangnya nyawa,” kata Bambang.

<123>

#HOT

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

POLLING

Apakah Indonesia Menuju Indonesia Emas atau Cemas? Dengan program pendidikan rakyat seperti sekarang.