Tak hanya itu, Aryati juga menyoroti pentingnya rantai dingin dan proses pengiriman sampel yang sesuai standar. Beberapa media transportasi memang mampu menyimpan spesimen hingga tiga bulan pada suhu 15 derajat Celcius, namun jika tidak dikelola dengan tepat, kualitas sampel bisa rusak dan membuat hasil tes tidak valid.
Hal penting lainnya adalah bahwa perang melawan kanker serviks tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah. Ketiga narasumber sepakat bahwa kolaborasi lintas sektor — termasuk swasta, akademisi, dan masyarakat — sangat diperlukan. Tidak cukup hanya dengan kampanye sesekali; dibutuhkan sistem terintegrasi yang berkelanjutan dan menjangkau semua perempuan di berbagai wilayah Indonesia.
Maryjane menambahkan bahwa perubahan tidak akan datang dengan sendirinya. "Ini bukan soal satu program atau satu vaksin. Kita butuh ekosistem pencegahan yang bisa berjalan secara terus-menerus, dari edukasi, skrining, hingga pengobatan," ujarnya.
Melihat potensi keberhasilan jika program ini dijalankan secara maksimal, Indonesia sebenarnya memiliki peluang besar untuk menekan angka kematian akibat kanker serviks secara signifikan. Namun, untuk mewujudkannya, dibutuhkan kerja sama semua pihak dan peningkatan literasi kesehatan yang menyeluruh di masyarakat.
Dengan vaksinasi yang mudah diakses dan inovasi deteksi dini yang terus berkembang, sebenarnya kita sudah memiliki alat yang ampuh untuk mengakhiri ancaman kanker serviks. Tinggal bagaimana kemauan kolektif dan sistem yang terstruktur bisa memastikan bahwa tidak ada perempuan Indonesia yang terlewat dari perlindungan ini.