Namun, untuk menjangkau masyarakat luas secara merata, dr. Nadia menekankan pentingnya inovasi dalam sistem pembiayaan dan metode skrining. "Kita harus berpikir kreatif, karena tidak semua masyarakat bisa langsung datang ke fasilitas kesehatan," ujarnya.
Dalam mendukung upaya tersebut, Kementerian Kesehatan juga menjalin kerja sama internasional. Salah satunya dengan organisasi Jhpiego (Johns Hopkins Program for International Education in Gynaecology and Obstetrics) yang mendapat dukungan dana dari Roche dan BioFarma. Kolaborasi ini tengah menguji dua model skrining di wilayah Jawa Timur, yaitu Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo.
Di Surabaya, diterapkan pendekatan “hub and spoke” dengan metode pengambilan sampel secara mandiri. Dalam skema ini, perempuan dapat mengambil sampel sendiri di rumah, lalu menyerahkannya ke Puskesmas atau Posyandu untuk dianalisis. Menurut Maryjane Lacoste, perwakilan Jhpiego, model ini memungkinkan akses yang lebih luas dan mengurangi ketergantungan pada tenaga medis.
Sebaliknya, di Sidoarjo digunakan pendekatan tradisional, di mana skrining dilakukan langsung oleh petugas medis di fasilitas kesehatan. Kedua model ini kini tengah dievaluasi efektivitasnya, baik dari sisi jangkauan maupun efisiensi operasional.
Meski terdengar menjanjikan, pendekatan pengambilan sampel mandiri tetap menyimpan tantangan tersendiri. Prof. Dr. dr. Aryati, M.S., Sp.PK(K), pakar dari PDS Patklin, mengingatkan bahwa akurasi sangat bergantung pada edukasi pengguna. Ia menyebut potensi kesalahan prosedur bisa mencapai 70 persen jika pengambilan sampel tidak dilakukan dengan benar.
Ia menekankan pentingnya edukasi sebelum tes, seperti larangan berhubungan seksual atau penggunaan obat tertentu setidaknya 4 jam sebelum pengambilan sampel. "Kalau prosedurnya tidak diikuti dengan benar, hasil tes bisa tidak akurat dan malah menyesatkan diagnosis," jelasnya.