Keputusan pemerintah mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) yang berlebihan pada pangan olahan diharapkan sejumlah kalangan tidak sebatas ‘seremonial‘ semata tapi juga harus disandingkan dengan pelaksanaan optimal, sosialisasi masif, dan penegakan hukum bagi produsen yang melanggar.
Pengendalian GGL tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 melalui penentuan batas maksimal kandungan, penerapan cukai, pelabelan hingga pembatasan iklan.
“Semoga peraturan ini bukan bentuk seremonial saja, tetapi kebijakan ini dapat diterapkan dan berjalan baik di masyarakat,“ kata Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir.
Selain pelaksanaan, Muhamad Riski Fahrezi selaku mantan pasien gagal ginjal berharap agar sosialisasi tentang bahaya buruk konsumsi pangan kemasan tinggi GGL juga harus masif dilakukan.
“Sosialisasinya seperti di sekolah, di lingkungan rumah, hingga televisi dan sosial media, karena saat saya sebelum kena gagal ginjal, tidak tahu dampaknya separah ini, “ kata Riski
Pakar kesehatan, Hasbullah Thabrany, menambahkan, penentuan cukai yang optimal juga menjadi kunci penting untuk menurunkan tingkat konsumsi GGL.
“Saya tahu pasti resistensi [dari pengusaha] akan banyak, tapi kalau kenaikan harganya tidak optimal maka tidak akan ada efeknya,“ kata Hasbullah.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan penerapan kebijakan GGL itu bertujuan untuk memperbaiki perilaku konsumsi masyarakat, kesehatan masyarakat, dan mendorong reformulasi produk industri yang lebih sehat.
Muhamad Riski Fahrezi divonis gagal ginjal saat usianya masih 18 tahun. Pada saat teman-temannya menikmati masa kelulusan dari SMA, dia terkapar di rumah sakit.
“Seminggu sebelum lulus-lulusan, tepatnya 7 Agustus 2020, saya pusing, mual, muntah, pandangan kabur dan dibawa ke IGD. Dicek kreatin saya tujuh, ureumnya 100 lebih, tensi [darah] sekitar 250 per 150,“ kenang Riski saat dihubungi wartawan BBC News Indonesia, Rabu (31/07).
Riski pun didiagnosis menderita gagal ginjal dan ia mendapatkan tindakan cuci darah (hemodialisis), sepekan kemudian.
Setelah tiga tahun menjalani cuci darah sebanyak dua kali sepekan, Riski mendapatkan transplantasi ginjal dari keluarga pada Januari 2023.
Riski menuturkan penyesalannya atas pola hidup yang buruk.
Pada saat SMP, dia mengalami obesitas (berat 90 kilogram dan tinggi sekitar 155 sentimeter).
“Lalu, di SMP saya juga sering minum kopi dan teh kemasan beli di minimarket. Hampir setiap hari beli itu,” kenangnya.
Sebagai gambaran, satu botol teh kemasan yang populer di Indonesia dengan takaran saji 350ml memiliki kandungan gula sebanyak 26 gram.
Ada pula minuman teh kemasan dengan takaran saji 350ml mengandung 42 gram gula.
Padahal, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyarankan batas konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) per orang per hari sebagai berikut: gula 50 gram atau empat sendok makan , 2.000 miligram natrium/ atau lima gram atau satu sendok teh garam (natrium/sodium) dan lemak 67 gram atau lima sendok makan.