Selain diagnosis, AI juga mengoptimalkan manajemen pasien. Ia secara substansial mengurangi beban tugas administratif di lingkungan klinis. Ini membebaskan tenaga medis untuk fokus pada perawatan pasien.
Dalam studi di Inggris, misalnya: 1. AI "dapat memprediksi dengan benar pasien yang perlu dipindahkan ke rumah sakit" dalam 80% kasus triase ambulans. 2. untuk tugas administratif, AI co-pilot seperti Dragon Copilot dapat "mendengarkan, dan membuat catatan" dari konsultasi klinis. Platform Elea di Jerman juga mampu memangkas waktu pengujian dan diagnosis dari minggu menjadi hanya beberapa jam.
AI juga digunakan untuk meningkatkan dan memodernisasi praktik Pengobatan Tradisional, Komplementer, dan Integratif (TCIM) di berbagai negara. Ini menunjukkan adaptabilitas teknologi dalam melestarikan warisan medis.
Beberapa inisiatif penting meliputi: 1. India meluncurkan "perpustakaan digital pengetahuan tradisional" berbasis AI untuk menganalisis teks medis kuno. 2. Ghana menggunakan AI untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi tanaman obat. 3. Korea Selatan memanfaatkan AI untuk menganalisis senyawa obat tradisional guna mengobati kelainan darah.
Tantangan dan Regulasi Penerapan AI di Layanan Kesehatan
Meskipun potensinya besar, implementasi AI di layanan kesehatan menghadapi tantangan signifikan. Tantangan ini terkait dengan pelatihan, kepercayaan publik, akurasi, dan kedaulatan data. Semua ini membutuhkan regulasi yang ketat.
Profesional kesehatan harus dilatih dengan baik. Mereka perlu: 1. "memahami dan mengetahui cara memitigasi risiko dari keterbatasan teknologi" AI. Selain itu, tingkat kepercayaan masyarakat masih rendah. Studi di Inggris menunjukkan bahwa "hanya 29% orang yang akan memercayai AI untuk memberikan nasihat kesehatan dasar." Ini menunjukkan perlunya edukasi publik.