Handphone alias telepon seluler rasanya adalah salah satu kebutuhan primer manusia di zaman milenial seperti sekarang ini. Zaman tahun 90-an, mungkin kebutuhan manusia akan benda kecil ini belum se-primer seperti sekarang ini. Sejak memasuki tahun 2000-an lah, terasa mulai terjadi peralihan tingkat kebutuhan atas benda ini. Dulu telepon seluler termasuk salah satu kebutuhan tersier, di mana ini bagaikan benda mewah yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. Sebut saja mungkin para pejabat penting yang memiliki telepon seluler ini. Namun kini.....semua berubah! Telepon seluler bagaikan makanan pokok. Rasanya tak ada orang yang tidak memiliki benda yang satu ini. Anak-anak, remaja, orang dewasa, bahkan para eyang juga memiliki benda ini.
Nah, beberapa hari yang lalu ada sebuah peristiwa menarik di kantor. Salah seorang temanku, ternyata rusak telepon selulernya...1 hari, 2 hari, hingga beberapa hari telepon selulernya masih tetap rusak. Sebenarnya, bisa saja sih karena tak berhasil diperbaiki ia membeli yang baru. Namun, entah mengapa ia tidak memilih itu. Tapi yang menarik perhatianku bukan mengapa ia tidak membeli telepon seluler yang baru, tapi apa yang berubah sejak telepon selulernya rusak. Lalu, kutanya juga, adakah kesulitan yang terjadi dengan rusaknya telepon seluler miliknya. Ia lalu menceritakan bahwa ‘hidupnya’ masih baik-baik saja kok. Paling yang menjadi kendala adalah hal yang berhubungan dengan dengan pekerjaan, jika menyangkut pengumuman yang kadang ada ketika sudah jam pulang kantor. Selebihnya, masih baik-baik saja.