Sistem hukum di Korea Utara mengakui kemungkinan perceraian, namun tidak menetapkan jenis hukuman untuk pasangan yang bercerai. Meskipun demikian, media daring Daily NK melaporkan bahwa otoritas Pyongyang menjatuhkan hukuman enam bulan di kamp kerja militer kepada orang-orang yang bercerai. Bahkan, orang yang "memiliki lebih banyak kesalahan dalam perceraian"lah yang dikirim ke sana.
Tidak hanya itu, seorang sumber lain juga menyebutkan bahwa seseorang menjalani hukuman tiga bulan di kamp kerja paksa karena bercerai. Bahkan, 30 dari 120 orang di kamp diketahui berada di sana karena menceraikan pasangan mereka. Wanita umumnya dikenakan hukuman yang lebih lama daripada pria. Hal ini dikarenakan banyaknya perceraian di negara ini didasarkan pada kasus kekerasan dalam rumah tangga oleh suami.
Menariknya, laporan Institut Korea untuk Penyatuan Nasional pada Januari yang berdasarkan wawancara dengan 71 pembelot, menyebutkan bahwa semakin banyak wanita di Korea Utara yang lebih memilih untuk hidup bersama pasangan mereka daripada menikah. Data ini memberikan insight bahwa masalah dalam hubungan pernikahan di Korea Utara memerlukan perhatian lebih serius, antara lain mengenai perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.
Ancaman kamp kerja paksa bagi pasangan yang bercerai menunjukkan bahwa kebebasan untuk melanjutkan atau mengakhiri sebuah pernikahan di Korea Utara sangatlah terbatas. Situasi ini juga menggambarkan ketidakadilan gender, di mana wanita seringkali menjadi korban dalam perceraian dan harus menjalani hukuman lebih berat. Hal ini juga menunjukkan bahwa pemimpin negara tersebut memiliki peran yang sangat besar dalam urusan pribadi masyarakatnya.