Korupsi adalah fenomena yang merusak, namun ada satu pertanyaan yang sering muncul di benak banyak orang: mengapa para koruptor seolah tidak pernah merasa puas, bahkan ketika harta mereka sudah melimpah? Fenomena ini tidak bisa dijelaskan hanya dengan masalah kurangnya integritas, tetapi juga melibatkan dimensi psikologis yang rumit. Di balik setiap tindakan korupsi yang berulang, ada pola pikir, dorongan internal, dan dinamika sosial yang mendorong mereka terus mengejar kekuasaan dan kekayaan tanpa batas.
Perilaku Adiktif dan Dopamin
Salah satu sudut pandang yang paling relevan untuk memahami ketidakpuasan koruptor adalah melalui lensa psikologi adiktif. Mirip dengan pecandu narkoba atau penjudi, tindakan korupsi bisa memicu pelepasan dopamin, neurotransmitter yang memicu perasaan senang dan penghargaan di otak. Setiap kali koruptor berhasil melakukan aksinya dan mendapatkan keuntungan, otak mereka menerima "hadiah" berupa lonjakan dopamin. Perasaan euforia sesaat ini mendorong mereka untuk mengulang perilaku yang sama demi mendapatkan dosis dopamin berikutnya.
Seiring waktu, otak menjadi terbiasa dengan lonjakan dopamin tersebut. Akibatnya, mereka membutuhkan "dosis" yang lebih besar, yaitu nilai korupsi yang lebih tinggi, untuk mencapai tingkat kepuasan yang sama. Inilah yang menjelaskan mengapa seorang koruptor yang sudah memiliki triliunan rupiah masih saja tertangkap basah menerima suap recehan. Mereka tidak lagi didorong oleh kebutuhan finansial, melainkan oleh ketergantungan psikologis pada sensasi keberhasilan dan kekuatan yang menyertai tindakan korupsi.