Siapa sangka, beberapa tahun belakangan ini konsep Work From Home (WFH) atau kerja dari rumah jadi gaya hidup yang lumrah banget. Awalnya sih, kedengarannya enak ya? Nggak perlu macet-macetan di jalan, bisa kerja pakai piyama, dan jadwal lebih fleksibel. Tapi, seiring waktu berjalan, banyak yang mulai curhat kalau WFH ini justru bikin produktivitas menurun drastis. Parahnya, masalahnya seringkali bukan karena fasilitas atau koneksi internet, tapi karena ada penyebab emosional yang diam-diam menggerogoti.
Mungkin kamu pernah merasa ini: laptop sudah terbuka dari pagi, tapi rasanya kok otak susah diajak kerja sama. Bolak-balik buka media sosial, tiba-tiba sudah siang, dan tugas yang harusnya selesai malah terbengkalai. Kalau kamu mengalaminya, jangan langsung menyalahkan diri sendiri. Ada beberapa faktor dari sisi mental health yang bisa jadi biang keladinya.
Salah satu penyebab utamanya adalah hilangnya batasan yang jelas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Saat kita kerja di kantor, ada jam mulai dan jam pulang yang jelas, ada lingkungan fisik yang membedakan "mode kerja" dan "mode santai". Di rumah, semuanya jadi satu. Ruang tidur bisa jadi ruang kerja, dan waktu istirahat pun seringkali diselipi notifikasi email. Ini bikin otak kita jadi susah membedakan kapan harus "on" dan kapan harus "off". Akibatnya, kita jadi gampang lelah secara mental, yang kemudian berujung pada produktivitas turun.
Kemudian, rasa kesepian dan isolasi juga jadi pemicu yang kuat. Meskipun kita terhubung lewat video call atau chat, interaksi tatap muka yang spontan dan ngobrol santai di antara rekan kerja itu ternyata punya dampak besar buat mood dan energi kita. Saat kita cuma berinteraksi lewat layar, seringkali ada perasaan terputus dari dunia luar. Apalagi kalau kamu adalah tipe orang yang butuh interaksi sosial buat charge energi, kerja remote bisa jadi tantangan besar dan memicu rasa hampa atau bahkan depresi ringan.