Psikologi bicara juga menunjukkan bahwa pembicara yang terlalu dominan dalam suatu percakapan dapat membuat orang lain merasa terpinggirkan. Ketika seseorang berbicara terus menerus tanpa memberi ruang untuk pendengar lainnya berkontribusi, timbul rasa jenuh. Pendengar pun merasa diabaikan dan kurang diikutsertakan dalam dialog. Ini tercermin dalam lemahnya hubungan interpersonal yang dibangun. Dalam situasi seperti ini, meskipun pembicara mengeluarkan banyak informasi, pesan tersebut tidak diterima secara efektif oleh pendengar.
Selain itu, sikap dan perilaku pembicara juga memengaruhi efektivitas komunikasi. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa ekspresi non-verbal seperti bahasa tubuh, kontak mata, dan intonasi suara dapat memiliki dampak signifikan pada cara pendengar mempersepsi pesan. Pembicara yang kurang memperhatikan aspek-aspek ini sering kali mengalami penurunan dalam kemampuan mereka untuk menggaet perhatian audiens. Misalnya, berbicara dengan nada monoton atau tanpa variasi gestur tubuh bisa membuat audiens merasa bosan, sehingga isi pesan yang disampaikan bisa saja terlewatkan.
Di sisi lain, pendengar juga memiliki peran penting dalam proses komunikasi. Seringkali, pendengar merasa tidak berdaya untuk menyela atau memberikan umpan balik ketika pembicara terlalu mendominasi. Ini menciptakan kesenjangan dalam percakapan yang bisa menghambat mutualisme. Dalam konteks ini, komunikasi sosial tidak hanya melibatkan satu pihak; keberhasilan komunikasi memerlukan partisipasi aktif dari kedua belah pihak.