Selain itu, ada juga faktor psikologis yang berpengaruh. Ketika seseorang menerima kritik, reaksi emosional bisa sangat bervariasi. Beberapa orang mungkin merasa tertekan atau tidak berharga, sementara yang lain merasa termotivasi untuk memperbaiki diri. Namun, persepsi umum tentang kritik sering kali negatif, sehingga ketika seseorang mengutarakan kritik, bukannya mendapatkan apresiasi, mereka justru mendapatkan label sebagai orang yang nyebelin. Hal ini menciptakan siklus di mana kritikus merasa diabaikan, sementara yang lain merasa terancam.
Komunikasi efektif sangat penting dalam menyampaikan kritik konstruktif. Menggunakan teknik komunikasi yang baik, seperti menggunakan 'ik' daripada 'kamu' dalam pembicaraan, dapat mengurangi defensifitas. Misalnya, mengatakan "Saya merasa hal ini bisa lebih baik" daripada "Kamu tidak melakukan ini dengan benar" dapat mengubah nuansa percakapan. Dengan cara bicara yang lebih lembut dan fokus pada solusi, kritik bisa diterima dengan lebih baik, dan orang-orang yang kritis bisa lebih dihargai.
Tentu saja, ada juga elemen kebudayaan yang berperan dalam hal ini. Di beberapa negara atau komunitas, keterbukaan untuk berargumentasi dan berdiskusi dianggap sebagai hal yang positif. Namun, di tempat lain, menunjukkan ketidakpuasan bisa dianggap sebagai tindakan yang tidak sopan atau kurang menghargai orang lain. Karena itu, dalam konteks sosial yang berbeda, orang kritis bisa dipandang dengan cara yang sangat berbeda pula. Ini menciptakan ketidakpahaman dan stigma yang sering kali tidak berdasar.