Penyebabnya juga dapat dilihat dari fakta bahwa rasa sakit dan penolakan sosial memiliki efek yang serupa terhadap kesehatan mental kita. Ketika seseorang merasa ditolak, mereka sering kali mengalami gejala depresi, kecemasan, dan stres yang berkepanjangan. Hal ini bisa berujung pada masalah kesehatan serius seperti gangguan tidur, nafsu makan yang terganggu, dan bahkan risiko bunuh diri. Dengan kata lain, rasa sakit yang dirasakan akibat penolakan sosial tidak hanya bersifat emosional, tetapi juga dapat berdampak fisik pada tubuh kita.
Penjelasan ini mendapatkan dukungan dari sejumlah studi yang menunjukkan bahwa orang yang pernah mengalami penolakan sosial cenderung menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap rasa sakit fisik. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal "Proceedings of the National Academy of Sciences," para peneliti menemukan bahwa individu yang merasakan penolakan sebelumnya lebih cenderung melaporkan rasa sakit yang lebih intens saat mengalami stimulus fisik, dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami penolakan.
Proses pengolahan rasa sakit dan penolakan sosial yang sama ini juga memberikan wawasan tentang pentingnya empati dalam interaksi sosial. Kita sering kali lebih sensitif terhadap penolakan yang dialami oleh orang lain, terutama orang-orang terdekat kita. Rasa empati ini menciptakan ikatan sosial yang kuat, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesehatan mental dan emosional kelompok tersebut. Dengan memiliki koneksi sosial yang baik, kita bisa menciptakan lingkungan yang mendukung, sehingga dapat membantu mengurangi dampak dari penolakan.