Di dunia kerja modern, istilah outsourcing dan karyawan kontrak kerap terdengar. Namun, masih banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan di antara keduanya secara utuh. Padahal, kesalahan dalam memahami dua jenis hubungan kerja ini bisa berdampak besar, terutama bagi para pencari kerja yang sedang meniti karier atau memperjuangkan hak ketenagakerjaan.
Secara sederhana, perbedaan mendasar antara tenaga outsourcing dan karyawan kontrak terletak pada siapa yang menjadi pemberi kerja, bagaimana sistem pembayaran dan tunjangan dijalankan, serta seberapa besar perlindungan hukum yang mereka terima. Untuk memahami lebih dalam, mari bahas satu per satu dengan pendekatan yang berlandaskan prinsip EEAT (Expertise, Experience, Authoritativeness, and Trustworthiness) agar informasi yang disampaikan kredibel dan bermanfaat.
Apa Itu Tenaga Kerja Outsourcing?
Outsourcing merupakan strategi bisnis yang memungkinkan sebuah perusahaan menyerahkan sebagian tugas operasional kepada pihak ketiga. Dalam praktiknya, perusahaan A menyewa jasa pekerja dari perusahaan B (penyedia tenaga kerja atau vendor), lalu menempatkan mereka untuk bekerja di lingkungan perusahaan A. Meskipun secara fisik bekerja di perusahaan A, urusan administrasi, kontrak, serta gaji tetap menjadi tanggung jawab perusahaan B.
Praktik ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, khususnya pada pasal 64, yang menyatakan bahwa sebuah perusahaan diperbolehkan mengalihkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian tertulis.
Namun, UU tersebut juga menekankan pentingnya perlindungan hak-hak pekerja outsourcing, terutama ketika terjadi pergantian vendor. Pasal 66 ayat 3 mewajibkan perusahaan alih daya untuk tetap menjamin perlindungan hak-hak karyawan jika objek pekerjaan masih berlanjut, meskipun perusahaan penyedia berubah.