Bannister mengingatkan bahwa pendekatan seperti micromanagement, budaya kantor yang terlalu seremonial, dan aturan-aturan tanpa alasan yang jelas hanya akan menjauhkan generasi muda. Gen Z tumbuh dalam era digital dengan akses informasi tanpa batas, sehingga mereka membutuhkan kepercayaan, arahan yang transparan, dan ruang untuk berinovasi agar bisa memberikan performa terbaik.
Di sisi lain, Jacqui Gueye, Direktur program di Torrens University Language Centre yang memimpin tim lintas generasi dari Gen Z hingga Boomer, melihat pentingnya pendekatan baru dalam mengelola tenaga kerja muda. Ia menekankan bahwa prioritas utama Generasi Z adalah keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan serta kesehatan mental, bukan kurangnya komitmen. “Ini adalah refleksi dari pergeseran budaya kerja yang signifikan,” jelas Gueye.
Lebih jauh, Gueye menyoroti bagaimana Generasi Z lebih terbuka terhadap keberagaman, termasuk keberagaman neuro, dan menolak gagasan bahwa harus duduk di meja selama delapan jam sebagai satu-satunya cara bekerja. “Jika pekerjaan bisa selesai dalam empat jam, mengapa harus dipaksakan lebih lama?” ujarnya.
Namun, perbedaan gaya ini menjadi tantangan tersendiri. Manajemen tradisional yang masih mengutamakan jam kerja kerap kesulitan memahami preferensi Gen Z yang lebih berorientasi pada hasil. Selain itu, cara komunikasi digital Gen Z yang lebih suka menggunakan chat cepat di platform seperti Microsoft Teams atau pesan singkat sering disalahartikan oleh manajer yang berasal dari generasi sebelumnya sebagai kurangnya kemampuan komunikasi yang baik.
Salah satu hal yang sangat penting bagi Gen Z adalah kebutuhan akan umpan balik yang cepat dan kesempatan untuk belajar langsung dari mentor atau coach. Gueye menjelaskan bahwa generasi ini sudah terbiasa dengan sistem feedback instan dari media sosial, sehingga jika mereka merasa tidak mendapatkan pengembangan atau umpan balik yang cukup, mereka akan mencari peluang lain yang lebih sesuai dengan nilai dan harapan mereka.