Cancel culture sering kali muncul tanpa adanya verifikasi yang jelas, sehingga individu yang ditargetkan dalam banyak kasus kehilangan kesempatan untuk membela diri atau meminta maaf. Kasus Johnny Depp contohnya, ketika ia dikecam setelah dituduh melakukan kekerasan dalam rumah tangga oleh Amber Heard. Setelah melalui proses hukum, terbukti bahwa tuduhan itu tidak benar, namun reputasinya sudah terlanjur hancur.
Seringkali, boikot dimulai dari perkara sepele, kurangnya pemahaman, atau bahkan kesalahpahaman yang berkembang. Masyarakat yang kurang informasi kemudian dengan cepat ikut-ikutan, membentuk opini tanpa menyelidiki lebih lanjut. Media massa pun tak jarang terjebak dalam arus pemberitaan yang viral, memperparah situasi.
Di Indonesia, efek dari budaya pembatalan ini beragam. Ada yang terpuruk hingga hilang dari peredaran, ada yang memilih untuk hiatus, hingga ada pula yang memanfaatkan situasi untuk meningkatkan popularitas dan eksposur. Meskipun di satu sisi cancel culture bisa menjadi alat untuk menyuarakan keadilan, di sisi lain ia juga berpotensi memecah belah masyarakat dan menciptakan ketidakadilan yang lebih besar.
Oleh karena itu, sebelum terjun ke dalam budaya ini, sangat penting untuk memastikan informasi yang beredar akurat serta jelas biar tidak menjadi alat untuk menghancurkan reputasi orang lain secara sembarangan.