Demonstrasi adalah salah satu cara paling kuat bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi, ketidakpuasan, atau tuntutan. Pemahaman masyarakat tentang sebuah demonstrasi seringkali tidak terbentuk dari pengalaman langsung, melainkan dari cara media massa melaporkannya. Dari pemilihan kata, sudut pandang, hingga gambar yang ditampilkan, media memiliki kekuatan luar biasa untuk membentuk opini publik, menentukan apakah sebuah demonstrasi akan dipandang sebagai perjuangan sah untuk keadilan atau sekelompok massa yang mengganggu ketertiban.
Pemilihan Kata: Mengubah Narasi dari Awal
Media menggunakan bahasa untuk melukiskan sebuah peristiwa, dan pemilihan kata bisa sangat memengaruhi persepsi. Sebuah demonstrasi bisa digambarkan sebagai "aksi damai," "unjuk rasa," atau sebaliknya, sebagai "kerusuhan," "anarki," atau "massa brutal." Perbedaan terminologi ini menciptakan bias yang kuat.
Misalnya, jika media menggunakan kata "protes" dan "aktivis," narasi yang dibangun adalah tentang warga negara yang berpartisipasi dalam proses politik. Sebaliknya, jika kata-kata seperti "huru-hara" dan "perusuh" yang dipilih, narasi beralih ke ancaman terhadap stabilitas dan keamanan. Pemilihan kata ini juga bisa memengaruhi legitimasi tuntutan para demonstran. Jika media fokus pada kekerasan yang dilakukan sekelompok kecil oknum, narasi utama bisa menggeser perhatian dari isu substantif yang disuarakan oleh mayoritas.
Framing Berita: Memilih Sudut Pandang
Selain kata-kata, media juga menggunakan framing untuk membentuk opini. Framing adalah proses memilih aspek tertentu dari sebuah realitas dan membuatnya lebih menonjol dalam sebuah berita. Dalam konteks demonstrasi, framing bisa terlihat dalam beberapa cara:
Framing Konflik: Media sering kali memilih untuk fokus pada bentrokan antara demonstran dan aparat, penggunaan gas air mata, atau kerusakan fasilitas umum. Framing ini menarik perhatian karena sifatnya dramatis, namun mengabaikan alasan mendalam di balik demonstrasi itu sendiri. Opini publik yang terbentuk akan cenderung melihat demonstran sebagai sumber masalah, bukan sebagai korban.