Namun, pandangan ini tidak terlepas dari kritik. Banyak ilmuwan dan filsuf menganggap bahwa argumen di balik teori simulasi lemah dan terlalu spekulatif. Sementara sains mencari kebenaran melalui pengamatan, eksperimen, dan pembuktian, teori simulasi sering kali tampak sebagai frame kerja filosofis yang agak jauh dari realitas empiris. Teori ini, dalam banyak aspek, mencerminkan pertanyaan mendalam tentang ontologi dan epistemologi—apa artinya menjadi nyata dan bagaimana kita mengetahui sesuatu itu nyata.
Sisi menarik lainnya dari teori simulasi adalah bagaimana ia telah menarik perhatian masyarakat luas dan kultur pop. Film seperti "The Matrix" mengeksplorasi ide ini dengan cara yang menarik dan memikat, menciptakan dialog seputar realitas dan eksistensi. Budaya populer seringkali merefleksikan ketakutan dan intrik manusia terhadap pandangan bahwa dunia yang kita huni mungkin tidak semenyenangkan dan sebermakna yang kita pahami.
Konsep dunia maya dalam konteks ini juga mengajak kita untuk berpikir tentang hubungan kita dengan teknologi. Dalam dunia yang semakin tergantung pada perangkat dan sistem digital, apakah kita semakin mendekati kenyataan bahwa kehidupan kita bisa jadi hanyalah representasi digital? Dengan kemajuan teknologi yang pesat, seperti kecerdasan buatan dan realitas virtual, pertanyaan ini menjadi semakin relevan. Apakah digitalisasi membawa kita lebih dekat atau semakin jauh dari esensi 'manusiawi' kita?