Dulu, membentuk identitas diri itu rasanya lebih sederhana. Kita tahu siapa diri kita dari interaksi langsung dengan keluarga, teman, lingkungan sekolah atau kerja, dan mungkin dari hobi atau minat yang kita tekuni. Identitas kita terbentuk perlahan, melalui pengalaman nyata, trial and error, dan refleksi pribadi. Tapi, coba deh lihat sekarang. Hidup kita, terutama para anak muda, hampir nggak bisa lepas dari internet, khususnya media sosial. Instagram, TikTok, Twitter (sekarang X), Facebook – semua platform ini seolah jadi panggung besar tempat kita "menampilkan" diri. Nah, pertanyaannya, apakah internet ini benar-benar mengubah cara kita membentuk identitas diri? Jawabannya: Jelas iya, dan perubahannya cukup signifikan.
Salah satu dampak paling jelas adalah munculnya konsep identitas digital. Kita punya "diri" yang berbeda di dunia maya dan di dunia nyata. Di media sosial, kita bisa memilih foto mana yang paling bagus, status mana yang paling keren, atau video mana yang bisa bikin kita terlihat paling relatable atau inspiratif. Kita jadi sangat sadar akan citra yang ingin kita proyeksikan ke publik. Bayangkan saja, setiap unggahan, setiap like, setiap komentar, semuanya membentuk narasi tentang siapa kita di mata orang lain. Ini seperti kita sedang membangun sebuah brand pribadi secara online.
Fenomena ini kadang bikin kita terjebak dalam penampilan. Kita cenderung menampilkan sisi terbaik atau yang paling diinginkan, bahkan kalau itu berarti sedikit melebih-lebihkan atau menyembunyikan kekurangan. Ada tekanan untuk selalu terlihat bahagia, sukses, atau keren, karena itulah yang seringkali mendapat validasi dari netizen. Validasi berupa like dan follower ini bisa jadi semacam mata uang sosial, yang secara nggak langsung memengaruhi self-esteem kita. Kalau postingan kita banyak disukai, kita merasa lebih baik. Sebaliknya, kalau sepi respons, bisa jadi merasa kurang berharga. Ini tentu berdampak pada kepribadian kita di dunia nyata, kadang membuat kita jadi lebih self-conscious atau bahkan insecure.