Mengajarkan berbagai kosakata, termasuk kata-kata yang menggambarkan emosi seperti senang, sedih, atau marah, bisa membantu anak mengenali perasaannya sendiri. Anak yang mampu mengidentifikasi dan menamai emosinya cenderung lebih mampu mengatur perilaku dan berempati terhadap orang lain.
3. Biasakan Memberikan Penjelasan pada Anak
Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, dan mereka belajar banyak dari penjelasan yang diberikan orang tuanya. Daripada memberikan label langsung atas suatu tindakan – misalnya menyebut seseorang “pembohong” – orang tua sebaiknya menjelaskan alasan atau latar belakang dari tindakan tersebut. Misalnya, “Dia mungkin berbohong karena takut dimarahi.”
Dengan memberi penjelasan semacam ini, anak tidak hanya memahami kejadian secara lebih mendalam, tapi juga mulai membangun konsep berpikir kritis. Mereka belajar bahwa setiap tindakan memiliki konteks dan alasan, serta mulai mengembangkan kemampuan refleksi diri yang penting untuk masa depan.
4. Libatkan Anak dalam Aktivitas Orang Tua
Anak-anak adalah peniru ulung. Mereka belajar banyak dari mengamati dan menirukan perilaku orang tua sehari-hari. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memberikan contoh perilaku positif yang bisa ditiru.
Contoh konkret yang bisa dilakukan adalah melibatkan anak dalam kegiatan rumah tangga sederhana, seperti menyapu, menyiram tanaman, atau membersihkan meja. Memberikan anak sapu kecil atau alat bantu lainnya akan membuat mereka merasa dihargai dan penting. Kegiatan ini tidak hanya membangun kebiasaan baik, tetapi juga memperkuat ikatan emosional antara anak dan orang tua.
5. Perkenalkan Anak pada Lingkungan Sosial Sejak Dini
Berinteraksi dengan lingkungan sekitar sejak bayi ternyata memiliki dampak signifikan pada perkembangan otak. Penelitian menunjukkan bahwa bayi yang sering mendengar bahasa dari berbagai penutur cenderung memiliki kemampuan bahasa yang lebih fleksibel saat dewasa. Mereka lebih siap untuk belajar bahasa kedua atau ketiga di kemudian hari.