Tampang.com – Gelombang protes digelorakan buruh di berbagai daerah di Indonesia menyusul penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2018. DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten, misalnya, menuntut agar perhitungan upah minimum dikembalikan berpedoman kebutuhan hidup layak (KHL). Bahkan, mereka akan menyiapkan aksi besar-besaran pada 10 November dengan tuntutan menolak tegas surat edaran gubernur bahwa kenaikan upah minimum 2018 menggunakan formula yang termuat dalam PP 78/2015 tentang Pengupahan.
Ya, sejak tiga tahun terakhir, pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa perhitungan upah minimum mengacu PP 78/2015. Kenaikan UMP setiap tahunnya diukur berdasar laju inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Untuk UMP 2018, telah ditetapkan kenaikan sebesar 8,71 persen.
Di Kaltim, justru pembahasan UMP 2018 berjalan lancar. Tak ada gejolak yang membuat penetapan molor dari batas waktu yang diberikan pemerintah pusat, yakni 1 November. Bahkan, pengusaha dan buruh sudah menemui kata sepakat pada 27 Oktober bahwa upah minimum efektif mulai berlaku per 1 Januari 2018.
Gubernur Kaltim pun sudah mengeluarkan Surat Keputusan bernomor 561/K.713/2017 tentang Penetapan UMP Kaltim 2018 sebesar Rp 2,543 juta. Ada kenaikan sebesar Rp 203,775 ribu dari UMP 2017 sebesar Rp 2,339 juta.
Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mengatakan, sudah meminta para bupati/wali kota di Kaltim selambat-lambatnya 21 November untuk menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2018. Di samping itu, dia meminta para pengawas di setiap kabupaten/kota mengawasi pelaksanaan PP 78/2015. “Beri saya data perusahaan yang tidak patuh. Nanti kami beri sanksi tegas,” ujarnya saat memimpin rapat, belum lama ini.
Ketua DPD Federasi Serikat Pekerja Perkayuan dan Kehutanan Indonesia (FSP Kahutindo) Kaltim Sukarjo menyatakan, pembahasan UMP Kaltim 2018 sudah klir. Dia pun memastikan sementara waktu ini tak berencana bergabung dalam rencana aksi besar-besaran para buruh dari berbagai daerah di Indonesia.
Ada alasan yang mendasari. Adapun itu, sadar kenaikan upah minimum sebesar 8,71 persen di atas akumulasi inflasi dan pertumbuhan ekonomi Kaltim. Merujuk data yang dilansir Badan Pusat Statistik Kaltim, jika merujuk inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi di Benua Etam hanya terjadi kenaikan 7,23 persen. Itu dengan perincian, inflasi sebesar 3,65 persen dan produk domestik bruto triwulan II 2017 sebesar 3,58 persen.
Jadi, terang dia, tak ada dasar untuk mengadakan aksi. Beda dengan DKI Jakarta dan Banten. Di sana, wajar menuntut upah minimum lebih tinggi karena jika menggunakan laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional, justru lebih rendah dibanding kondisi di daerahnya. “Kalau Kaltim lebih baik, masih menguntungkan buruh makanya tidak teriak. Kalau kayak mereka (DKI Jakarta dan Banten), pasti menuntut upah di atasnya juga,” katanya, kemarin (2/11).
Hanya, yang menjadi persoalan ke depan adalah menuntut agar UMP mesti betul-betul dilaksanakan perusahaan. Sebab, sampai saat ini masih banyak ditemukan perusahaan usaha kecil dan menengah yang tidak menerapkan UMP dan UMK. Sementara itu, pemerintah berbicara penegakan aturan.
Artinya, bila ada badan hukum atau badan usaha yang tidak menjalankan sama dengan melakukan pelanggaran tindak pidana. “Kami akan memastikan UMP 2018 benar dijalankan dengan melakukan inspeksi ke lapangan. Ini sekaligus akan menagih komitmen gubernur menjatuhkan sanksi kalau ada perusahaan yang tidak patuh,” tuturnya.
Hal lain yang bisa memicu prihatin adalah pengusaha bisa mengambil langkah pengurangan tenaga kerja, bahkan menutup usahanya. Mekanisme pasar bisa berlaku. Yang dia maksud, yakni saat melakukan perekrutan karyawan menawarkan upah di bawah UMP. “Mau tidak kerja dengan upah sekian? Kalau tidak mau ya enggak apa-apa. Kalau begitu kan repot, sementara orang butuh kerja untuk bisa makan,” ujarnya.
Terlebih, saat kini, lapangan kerja yang tersedia sangat terbatas. Padahal, lanjut dia, harusnya upah itu bisa menggambarkan keadilan. Mekanisme pasar itu yang sangat dikhawatirkan.
Ketua DPD Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim Slamet Brotosiswoyo menyebut, tak bisa menghindar dari ketentuan yang termuat dalam PP 78/2015. Tak ada opsi lain yang bisa ditempuh, seperti menyesuaikan dengan kondisi inflasi dan pertumbuhan ekonomi di daerah setempat. Namun, dengan kenaikan harga batu bara berharap bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi Kaltim. “Mudah-mudahan UMP ini bisa tersesuaikan dengan kondisi yang ada,” kata pria berkacamata itu.
Slamet memberi gambaran dua tahun terakhir, pengusaha yang mampu membayar sesuai UMP hanya 36 persen. Dia menyampaikan, angka tersebut dari data BPJS Ketenagakerjaan. Sejauh ini, hanya sejumlah itu perusahaan yang mampu mengikutsertakan karyawannya dalam asuransi tersebut. Sebagai solusi, Apindo meminta agar pemerintah mengatur klaster pengupahan berdasar skala usaha. Mulai kecil, menengah, dan besar. “Itu tujuannya untuk melindungi pekerja yang tidak dibayar sesuai UMP. Walaupun BPJS sudah mengeluarkan kepesertaan mandiri,” ucapnya.
Hanya, memang, sampai sekarang usulan Apindo mengenai pengupahan berdasar klaster usaha belum direspons pemerintah provinsi. Mereka masih mencarikan payung hukum agar bisa memberlakukan hal tersebut. Slamet mengingatkan kepada pengusaha untuk menghindari pemutusan hubungan kerja. Kecuali, tak ada jalan lain. Usaha padat karya, seperti perkebunan kelapa sawit dihadapkan kondisi berat. Sebab, operasionalnya jangka panjang, yakni 4–5 tahun untuk bisa berproduksi. “Kalau kenaikan tidak terkendali bisa menjadi masalah. Tapi, PP 78/2015 ini menjadi jalan tengah secara nasional. Dengan pedoman itu, tidak ada pilihan lain, harus dijalankan,” ucapnya.
UMP Kaltim dari Tahun ke Tahun
Tahun Nominal Kenaikan*
2013 Rp 1.752.073 Rp 575.073
2014 Rp 1.886.315 Rp 134.242
2015 Rp 2.026.126 Rp 139.811
2016 Rp 2.161.253 Rp 135.127
2017 Rp 2.339.556 Rp 178.303
2018 Rp 2.543.331 Rp 203.774
Keterangan (*) Dari tahun sebelumnya
Bank Data Kaltim Post