Universitas dan institusi pendidikan mulai merespons dengan menawarkan program studi teknik tunneling dan pelatihan intensif. Namun, menghasilkan insinyur kompeten tidak bisa instan. Dibutuhkan kombinasi teori, praktik lapangan, dan pengalaman bertahun-tahun. “Kalau kita ingin mengejar ketertinggalan, kita harus serius menyiapkan SDM sejak sekarang, bukan besok atau lusa,” kata Nita Rahmawati, Kepala Laboratorium Geoteknik ITB.
Beberapa perusahaan konstruksi mencoba mengurangi ketergantungan pada tenaga manusia dengan teknologi. Tunnel Boring Machine (TBM) canggih dan software simulasi 3D digunakan untuk mempercepat pekerjaan. Tapi mesin pun tetap membutuhkan pengawasan ahli. Tanpa tenaga profesional yang handal, proyek-proyek ini berisiko berjalan salah arah atau bahkan gagal.
Masalah ini bukan hanya soal pembangunan, tetapi juga keselamatan publik. Banyak kota besar di Indonesia rawan banjir dan longsor. Sistem drainase bawah tanah yang efektif memerlukan desain dan pengawasan profesional. Kekurangan insinyur tunnel berarti kota-kota berisiko menghadapi bencana yang sebenarnya bisa dicegah.
Ironisnya, di saat pemerintah menargetkan percepatan infrastruktur, langkah strategis untuk menyiapkan tenaga ahli justru tertinggal. Tanpa insentif yang jelas, program pendidikan yang masif, dan beasiswa khusus, krisis SDM di bidang tunneling bisa menjadi bom waktu.