Lingkungan sosial juga membentuk perilaku keuangan. Jika seorang muda tumbuh di lingkungan di mana gaya hidup konsumtif lebih dominan, atau tidak ada contoh nyata pengelolaan keuangan yang baik, besar kemungkinan mereka akan meniru kebiasaan tersebut. Tekanan dari teman sebaya untuk selalu tampil up-to-date dengan barang-barang terbaru atau gaya hidup mewah juga bisa mendorong perilaku boros dan menghambat kebiasaan menabung.
Era Digital dan Jebakan Konsumerisme
Kemajuan teknologi dan era digital membawa kemudahan sekaligus tantangan baru. Akses mudah ke e-commerce, layanan paylater, pinjaman online instan, hingga promosi belanja yang agresif di media sosial, sangat memanjakan gaya hidup konsumtif. Anak muda, yang akrab dengan teknologi, seringkali tergoda untuk belanja impulsif atau mengambil pinjaman tanpa memahami konsekuensi jangka panjangnya.
Media sosial juga menciptakan fenomena "FOMO" (Fear of Missing Out) dan tekanan untuk menunjukkan kemewahan, yang mendorong pengeluaran di luar batas kemampuan finansial. Mereka terpapar terus-menerus pada iklan dan gaya hidup influencer yang seolah-olah harus diikuti. Tanpa literasi keuangan yang kuat, jebakan-jebakan ini sangat sulit dihindari, menyebabkan banyak anak muda terjebak dalam lingkaran utang atau kesulitan finansial.
Kurangnya Kesadaran dan Rasa Mendesak
Seringkali, kurangnya kesadaran dan rasa mendesak menjadi penghalang bagi anak muda untuk belajar literasi keuangan. Bagi mereka, masalah keuangan mungkin terasa jauh dan bukan prioritas utama saat ini. Mereka lebih fokus pada studi, pertemanan, atau hiburan. Konsep pensiun, investasi jangka panjang, atau dana darurat seringkali dianggap terlalu dini untuk dipikirkan.