Dalam beberapa tahun terakhir, konsep ekonomi hijau semakin mendominasi wacana kebijakan publik di banyak negara. Kebijakan ekonomi hijau diharapkan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sembari memerangi perubahan iklim yang kian mendesak. Namun, muncul pertanyaan besar: apakah kebijakan ini benar-benar berfungsi sebagai jalan keluar nyata, atau sekadar retorika politik untuk menarik perhatian masyarakat?
Ekonomi hijau didefinisikan sebagai suatu sistem ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia sekaligus mengurangi risiko lingkungan, terutama dalam konteks perubahan iklim. Melalui politik lingkungan yang tepat, kebijakan iklim yang diadopsi seharusnya mampu mengurangi emisi gas rumah kaca dan memperkuat resiliensi terhadap bencana alam. Mengingat urgentnya perubahan iklim, di hampir setiap negara, langkah-langkah untuk mendukung transisi menuju ekonomi hijau menjadi topik yang sangat relevan.
Namun, dalam praktiknya, penerapan ekonomi hijau seringkali dihadapkan pada berbagai tantangan. Beberapa negara menunjukkan komitmen yang kuat untuk menerapkan kebijakan iklim dengan menciptakan insentif bagi industri ramah lingkungan. Namun, seringkali, langkah-langkah ini terhambat oleh kepentingan ekonomis jangka pendek yang lebih mengejar keuntungan langsung. Sektor energi fosil, misalnya, masih mendapatkan dukungan besar dari negara-negara yang bergantung padanya, sementara investasi dalam energi terbarukan belum sepenuhnya maksimal.