Pertama, efektivitas dari program Tax Amnesty sebelumnya masih patut dipertanyakan. Meskipun terjadi peningkatan penerimaan pajak dalam periode tertentu, namun pada akhirnya angka pengemplang pajak kembali meningkat setelah program ini berakhir. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah program Tax Amnesty benar-benar mampu menciptakan efek jera bagi para pengemplang pajak.
Selain itu, konsekuensi hukum bagi para pengemplang pajak masih menjadi isu yang perlu mendapatkan perhatian serius. Pengampunan yang diberikan juga perlu disikapi dengan hati-hati agar tidak menimbulkan ketidakadilan di masyarakat. Dalam hal ini, implementasi revisi UU Tax Amnesty harus mempertimbangkan perbaikan aspek hukuman dan sanksi terhadap para pelanggar pajak.
Di sisi lain, beberapa kalangan mendukung program Tax Amnesty jilid III dengan alasan bahwa penerimaan pajak Indonesia masih jauh dari target yang diinginkan. Dengan adanya program ini, diharapkan dapat mendorong penerimaan pajak negara dan menarik kembali aset dan dana yang tersebar di luar negeri. Namun demikian, tentu perlu ada evaluasi mendalam terkait dengan penyebab rendahnya penerimaan pajak dan pencarian solusi yang lebih komprehensif.
Dalam konteks ini, revisi UU Tax Amnesty yang diajukan perlu disusun dengan seksama dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang dari para ahli ekonomi, akuntansi, hukum, dan juga partisipasi aktif masyarakat sebagai wajib pajak. Seiring dengan keputusan DPR RI yang menyetujui masuknya revisi UU Tax Amnesty ke dalam Prolegnas Prioritas 2025, diharapkan implementasi program ini dapat menghasilkan dampak yang nyata bagi peningkatan ketaatan wajib pajak, penerimaan pajak negara, serta perbaikan sistem perpajakan secara keseluruhan.