Boikot terhadap Uniqlo bukanlah fenomena baru di China. Pada tahun 2021, pesaing Uniqlo, H&M, menghadapi boikot konsumen di China karena pernyataan di situs webnya yang menyatakan kekhawatiran tentang tuduhan kerja paksa di Xinjiang, dan mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi mengambil kapas dari wilayah tersebut. Dalam konteks ini, boikot terhadap merek fesyen asing yang terlibat dalam isu Xinjiang menjadi semakin terasa intensitasnya.
Sementara Uniqlo terus berupaya menjaga citranya di pasar China, keputusan untuk tetap netral atau memberikan klarifikasi yang sudah cukup jelas menjadi tanda tanya bagi konsumen setia mereka.
Dukungan terhadap hak asasi manusia di Xinjiang juga menjadi simbol dalam industri fesyen global, dengan merek-merek fesyen terkenal lainnya juga terlibat dalam diskusi tentang etika produksi dan tanggung jawab sosial.
Boikot terhadap Uniqlo telah memicu analisis tentang dampak jangka panjang terhadap merek dan penjualan perusahaan di China. Kepercayaan konsumen dan reputasi merek menjadi taruhan dalam konflik ini. Namun, apakah boikot ini akan berdampak jangka panjang terhadap penjualan Uniqlo di China, masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab dengan pasti.
Pelbagai reaksi muncul dari berbagai pihak terkait isu ini. Pemerintah China, misalnya, telah membantah adanya pelanggaran di wilayah Xinjiang, yang merupakan tempat asal sebagian besar kapas produksi China. Selain itu, reaksi dari para pengguna media sosial China juga menjadi indikator seberapa besar dukungan atau protes terhadap keputusan Uniqlo terkait isu ini.