Pemerintah Indonesia dilaporkan sedang mempertimbangkan langkah untuk mengurangi saham perusahaan Tiongkok dalam proyek penambangan dan pemrosesan nikel baru. Hal ini dilakukan untuk memperoleh insentif pajak dari Amerika Serikat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA). Namun, diskusi terkait rencana ini diperkirakan akan mengalami perjalanan yang tidak mudah.
Pada tahun lalu, pemerintah Indonesia sempat mengajukan pertanyaan kepada beberapa perusahaan Tiongkok mengenai kemungkinan pengambilan saham minoritas sekitar 15% dalam proyek nikel. Namun, seorang eksekutif di produsen nikel menyatakan bahwa setidaknya satu perusahaan Tiongkok menolak upaya pembatasan investasi baru.
Selain itu, pengurangan pengaruh Tiongkok di sektor nikel akan menjadi sebuah tantangan bagi Indonesia. Sekitar 80-82% produksi nikel berkualitas baterai diperkirakan berasal dari produsen yang mayoritas dimiliki oleh Tiongkok tahun ini, menurut data dari Benchmark Mineral Intelligence (BMI). Langkah ini mulai dari diberlakukannya larangan ekspor bijih nikel oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2020, yang bertujuan untuk mendorong penambang, industri, dan produsen baterai untuk berinvestasi di dalam negeri.
Investasi besar-besaran dari perusahaan Tiongkok telah mengubah perekonomian Indonesia, menjadikan negara ini sebagai pemain penting dalam transisi kendaraan listrik di tingkat global. Data menunjukkan bahwa Indonesia menyumbang sekitar 57% dari produksi nikel global yang telah dimurnikan, dan diperkirakan pangsa ini akan meningkat menjadi 69% pada akhir dekade ini, sebagaimana dilansir oleh BMI.