Dalam sektor bahasa, kebijakan ini membuat penduduk Melayu cukup pandai berbahasa Inggris, karena bahasa ini dipromosikan secara luas dalam pendidikan dan administrasi.
Kolonialisme Belanda: Eksploitasi tanpa Intervensi Budaya
Sebaliknya, Belanda tidak memiliki kebijakan serupa di Indonesia. Menurut Christopher Reinhart, seorang peneliti sejarah dari Nanyang Technological University, ada dua alasan utama mengapa Belanda tidak menyebarkan kebudayaannya secara luas di Indonesia:
-
Struktur Kolonialisme yang Ketat
Belanda memandang masyarakat lokal sebagai kelas bawah, sementara mereka menempatkan diri di kelas atas. Mereka percaya bahwa menyebarkan kebudayaan Belanda sama artinya dengan menganggap masyarakat lokal setara secara kultural. Hal ini bertentangan dengan struktur kolonial yang ingin mereka pertahankan. Untuk menjaga jarak sosial antara penjajah dan penduduk asli, Belanda memilih untuk tidak mempromosikan bahasa dan budaya mereka secara luas.
-
Fokus pada Eksploitasi Ekonomi
Kolonialisme Belanda lebih berorientasi pada eksploitasi ekonomi daripada penyebaran budaya. Reinhart mencatat bahwa Belanda tidak merasa perlu menyebarkan kebudayaan mereka selama mereka bisa mengambil keuntungan ekonomi. Snouck Hurgronje, seorang pejabat kolonial Belanda, pernah menyatakan bahwa kebudayaan lokal sebaiknya dibiarkan berkembang secara alami tanpa paksaan.
Pendekatan ini berlaku sejak era tanam paksa (1830–1900) hingga era politik etis (1900-an), di mana Belanda semakin menyadari pentingnya menjaga kebudayaan lokal agar tidak dirusak oleh invasi budaya Barat.
Perkembangan Bahasa Lokal di Indonesia
Keengganan Belanda untuk mengintegrasikan kebudayaan mereka ke dalam kehidupan masyarakat lokal memiliki dampak besar pada bahasa. Bahasa lokal seperti bahasa Melayu dan bahasa Indonesia terus tumbuh dan berkembang tanpa banyak campur tangan dari Belanda. Bahasa Belanda hanya digunakan di kalangan elit tertentu, seperti pejabat pemerintah atau kelompok masyarakat yang mendapat pendidikan formal ala Barat.