Sebagai seorang pelukis, Yos Suprapto tentunya memiliki alasan dan latar belakang yang mendasari karyanya. Keputusannya untuk mengekspresikan aspirasi politik dalam karyanya mungkin merupakan bagian dari caranya untuk berbicara, untuk mengajak masyarakat merenung, atau bahkan untuk menggugah kesadaran kolektif. Oleh karena itu, penolakan atau pembatalan atas pameran karyanya tidak hanya menyangkut aspek teknis atau administratif, tetapi juga menyangkut masalah keadilan dalam penghargaan karya seni.
Perlu disadari bahwa seni bukanlah semata-mata tentang estetika visual semata, tetapi juga tentang kebebasan berekspresi dan hak untuk diakui dalam konteks sosial dan politik di mana karya seni tersebut dihasilkan. Sikap Presiden Jokowi ini memberikan sinyal positif bahwa pemerintah mengakui pentingnya mendukung kebebasan seniman dalam berkarya tanpa harus takut akan sensor atau pembatasan.
Bukan hanya pembatalan pameran lukisan Yos Suprapto yang menjadi sorotan, tetapi juga respon dari pemerintah terkait kejadian ini menjadi perbincangan hangat di kalangan pecinta seni dan masyarakat pada umumnya. Implikasi dari pernyataan Presiden Joko Widodo ini juga menandakan bahwa masyarakat dan pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih terhadap tren atau kecenderungan untuk menekan kebebasan berekspresi seniman melalui berbagai bentuk karya seni.
Dalam wadah demokrasi, aspirasi politik seniman dalam karya seni harus dihargai dan diakui sebagai bagian dari pluralitas pandangan dan suara dalam masyarakat. Seni menjadi cerminan dari realitas sosial, politik, dan budaya di mana seniman tersebut hidup dan berkarya. Oleh karena itu, mengapresiasi karya seni juga berarti menghargai kebebasan berekspresi dan aspirasi politik yang terkandung di dalamnya. Presiden Jokowi telah memberikan tonggak awal dalam memperjuangkan hak-hak seniman dan kreativitas seni di Indonesia.