Mike Kendall, seorang ahli geofisika dari University of Oxford, menyatakan bahwa hasil riset ini memperlihatkan betapa pentingnya menggabungkan pendekatan geologi dan geofisika untuk memahami gunung berapi secara lebih menyeluruh. Menurutnya, metode serupa bisa diterapkan untuk memantau lebih dari 1.400 gunung berapi yang tersebar di seluruh dunia—terutama yang aktif namun tidak menunjukkan tanda-tanda erupsi yang jelas.
Kendall juga menekankan bahwa banyak gunung berapi aktif di dunia justru tampak “tenang” dari luar, padahal bisa menyimpan potensi erupsi besar. Oleh karena itu, kombinasi teknologi tinggi dan pengamatan terus-menerus sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi risiko sedini mungkin.
Yang membuat Uturuncu semakin mengkhawatirkan adalah fakta bahwa gunung ini berdiri di atas timbunan magma terbesar di kerak Bumi. Ini berarti bahwa jika Uturuncu akhirnya benar-benar meletus, dampaknya bisa sangat merusak, baik dari sisi korban jiwa maupun kerusakan lingkungan dan infrastruktur.
Para ilmuwan pun tak tinggal diam. Mereka terus memantau tekanan internal, pergerakan tanah, dan aktivitas seismik yang muncul di sekitar Uturuncu. Semua data ini dikumpulkan untuk memprediksi kemungkinan letusan dan memperkirakan skala ancaman yang mungkin ditimbulkan.
Walaupun hingga kini belum ada tanda pasti kapan Uturuncu akan meletus, tetapi aktivitasnya yang terus meningkat menjadi peringatan serius bagi para ahli vulkanologi dan otoritas lokal. Di satu sisi, gunung ini menjadi objek riset yang sangat penting untuk pengembangan teknologi pemantauan gunung berapi. Di sisi lain, keberadaannya juga menjadi potensi ancaman laten yang harus diwaspadai.
Fenomena gunung berapi "zombie" seperti Uturuncu juga membuka diskusi yang lebih luas tentang bagaimana manusia memahami alam. Selama ini, fokus kita sering kali tertuju pada gunung-gunung yang aktif meletus. Namun ternyata, gunung-gunung yang "tertidur panjang" justru bisa menyimpan bahaya yang lebih besar, karena kita cenderung mengabaikannya.