Dari sudut pandang etika, kemampuan membaca pikiran membuka perdebatan yang sangat kompleks. Misalnya, apakah benar untuk menggunakan kemampuan ini dalam konteks hukum? Dalam kasus pengadilan, mengetahui pikiran terdakwa atau saksi dapat mengubah cara keadilan dipersepsikan dan diterapkan. Namun, di sisi lain, hal ini dapat melanggar hak asasi manusia dan privasi individu. Kemanusiaan mungkin harus merumuskan etika baru yang dapat mengatur penggunaan teknologi ini, jika pun ada kemungkinan untuk mengembangkannya.
Di ranah politik, kemampuan membaca pikiran bisa menjadi alat yang sangat menguntungkan atau sangat merusak. Pemerintah mungkin akan menghimpun informasi tentang niat dan keinginan rakyatnya dengan lebih mudah, yang dapat meningkatkan akuntabilitas. Namun, hal ini juga bisa disalahgunakan untuk penindasan. Bayangkan jika sebuah rezim otoriter dapat mengetahui secara langsung opini dan ketidakpuasan warganya. Potensi untuk kontrol sosial yang ekstrem menjadi nyata, di mana individu tidak memiliki tempat untuk menyimpan pikiran mereka.
Salah satu tantangan terbesar dalam skenario ini adalah bagaimana kita akan menangani masalah consent atau persetujuan. Jika seseorang dapat membaca pikiran orang lain tanpa izin, masalah hak asasi manusia akan menjadi semakin mendalam. Siapa yang berhak atas pengetahuan tentang pikiran seseorang? Konsep kepemilikan pikiran dan ide mungkin akan menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.