Tampang

Tanpa Jatuh, Tiada Bangkit!

20 Mei 2017 16:16 wib. 2.488
0 0
Tanpa Jatuh, Tiada Bangkit!

Kamu pernah terjatuh ? boleh jatuh saat sedang mengendarai sepeda motor, jatuh pada saat menggiring bola, atau jatuh terpeleset saat berlari. Apakah kamu merasakan kesakitan saat itu? Pastinya, saat kita terjatuh kita secara refleks meringis kesakitan. Bagaimanapun kita terjatuh, selalu ada kata “bangkit” yang membangunkan kita kembali supaya bisa berdiri tegak, siap menghadapi tantangan berikutnya.

Begitu pula hidup. Dalam hidup ini tak jarang kita temukan berbagai cobaan yang membuat kita jatuh terpuruk, sakit, lelah, hingga rasanya pasrah ingin mengakhiri hidup. Kalau Aku boleh sedikit berbagi cerita. Aku pernah terjatuh. Saat itu, waktu menjelang Ujian Nasional SMA, Allah takdirkan Ayahku untuk kembali ke haribaan-Nya. Sejujurnya Aku terjatuh. Terjatuh dikarenakan kehilangan sosok seorang Ayah yang telah menjadi figur pemimpin keluarga teladan. Kehilangan. Berat memang, tapi apadaya ini kehendak-Nya. Jatuh pada saat itu begitu menghempaskan raga menjadi lesu dan menghentakkan jiwa menjadi tak berdaya. Melihat wajah ketegaran seorang Ibu, Aku diingatkan bahwa semakin Aku tak boleh terus meratapi kesedihan. Saat itu, wajah Ibu mengajarkanku tentang arti bangkit. Ya, bangkit meski tak semudah mengucapkan kata “bangkit”.

Ujian Nasional tiba saat itu Aku masih dalam kondisi terjatuh. Aku susah sekali untuk bangkit, meski ibu, kakak, guru-guru, dan teman-temanku memberikan dukungan. Tapi tetap Aku masih terjatuh karena masih belum bisa”bangkit”. Aku punya sebuah komitmen bahwa mencontek saat ujian akan semakin membuatku terjatuh karena jika Aku mencontek artinya Aku telah menghianati amanat Alm.Bapaku. Ujian Nasional telah selesai dan hasil pun tiba di depan muka. Hasilnya sangat mencengangkan, Aku berada di posisi yang paling rendah. Aku terjatuh lagi. Terjatuh sejatuh-jatuhnya hingga sakit pun melengkapi jatuhnya Aku. Dua bulan lamanya, sakit itu tak kunjung pulih. Sebelum Aku Ujian Nasional, ada sebuah harapan besar bahwa Aku bisa berkuliah di IPB atau UPI. Karena Aku memiliki tekad untuk melanjutkan perjuangan Almarhum Bapakku. Menjadi seorang pendidik yang sejak dulu kupandang sebagai profesi yang tak menjamin, itu dulu. Almarhum pernah berpesan “Ki, kamu mah ulah kuliah nya, uang na ge timana?”. Bolehlah saat sebelum kepergiannya Aku menangisi karena kecil kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi. Tapi Allah punya rencana lain memang. 2012 saat itu telah terbuka kesempatan untuk ikut SNMPTN Tulis (sekarang menjadi SBMPTN). Meski masih dalam keadaan sakit, saat itu masih Types Aku memaksakan diri untuk ikut karena ini adalah kesempatan besar. Kupilih IPB dan UPI jurusan Kimia, Agronomi Hortikultura. Sehari sebelum tes mulai, Aku terjatuh dari sepeda motor yang membuat kaki kananku terluka, meringis kesakitanlah Aku.

Hari tes SNPMTN tulis tiba. Dalam keadaan yang memaksakan, Aku datang ke SMPN 19 Bandung tempat Aku melaksanakan tes itu. Usaha terbaik telah dikeluarkan. Ya, Aku menunggu saja hari pengumuman itu tiba. Sambil berharap bahwa ada di antara salah satu kampus itu yang akan aku singgahi kedepannya. Tak lupa, doa Ibu yang senantiasa menguatkan langkah perjuangan ini. Hari pengumuman tiba. Aku tidak lolos, satupun perguruan tinggi tidak ada yang menerimaku. Aku semakin terjatuh, tak berdaya lagi seolah tamat sudah perjuangan diri ini untuk mencapai cita-cita, menempuh pendidikan tinggi persis seperti amanat almarhum meski dalam kondisi kesulitan ekonomi. Akhirnya, tanpa panjang lebar Aku memutuskan diri untuk mencari pekerjaan. Balai Pulp Kertas, karena aku suka kimia sejak dulu maka Aku ingin bekerja di perusahaan yang berkaitan dengan kimia. Tapi sayangnya, Aku tidak ada kesempatan untuk masuk kesana. Persyaratannya harus alumni tamatan SMK yang memang fokus ke kimia.

<123>

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

POLLING

Apakah Pilpres 2024 Berlangsung: