Menurut Karaniya, merchant-merchant fiktif yang digunakan pelaku kerap menyamarkan identitas dengan menggunakan nama usaha kuliner atau toko kecil yang umum dijumpai. Hal ini menyebabkan transaksi mereka tidak langsung dicurigai sebagai bagian dari aktivitas ilegal. Bahkan bagi sistem pemrosesan pembayaran digital, transaksi ini terlihat seperti pembelian biasa di warung atau toko.
Namun di balik nama-nama umum tersebut, terdapat praktik besar-besaran perjudian online yang mengalirkan dana triliunan rupiah. Pada tahun 2024 saja, Indonesia tercatat mengalami lonjakan transaksi judi online hingga mencapai Rp 359 triliun, angka yang tentu mengkhawatirkan secara ekonomi maupun sosial.
QRIS, Inovasi Hebat yang Disalahgunakan
Meski namanya ikut terseret dalam polemik, Karaniya menegaskan bahwa QRIS bukanlah biang keladi dari maraknya praktik ilegal ini. Sebaliknya, ia menilai QRIS adalah inovasi besar dalam sistem pembayaran digital nasional. Menurutnya, QRIS telah berhasil menyatukan berbagai metode pembayaran dalam satu sistem universal yang efisien dan inklusif.
“QRIS ini sebetulnya adalah terobosan luar biasa. Tapi seperti semua inovasi, selalu ada pihak yang akan mencoba menyalahgunakannya,” tegasnya.
Ia pun mengimbau semua pihak, mulai dari regulator, penyedia layanan, hingga masyarakat luas, untuk aktif menutup celah yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan.
Peran Merchant Juga Krusial dalam Pencegahan
Lebih lanjut, Karaniya menekankan bahwa upaya pemberantasan judi online tidak bisa hanya dibebankan kepada regulator atau penyedia sistem pembayaran saja. Para merchant pun harus turut bertanggung jawab. Perilaku mereka dalam menjalankan sistem QRIS harus sesuai dengan aturan dan tidak menjadi “topeng” untuk para bandar judi.
“Merchant itu punya peran penting. Jangan sampai mereka justru jadi tempat bersembunyi para pelaku,” tambahnya.