Meski demikian, pasar saham tetap bereaksi negatif. Dalam dua hari perdagangan terakhir minggu lalu, valuasi Apple anjlok hingga lebih dari setengah triliun dolar AS. Ini menjadi salah satu penurunan saham paling tajam sejak era gelembung dot-com pada awal tahun 2000-an.
Namun bagi sebagian pihak, peningkatan permintaan saat ini bisa menjadi peluang untuk mendongkrak hasil kuartal ketiga, yang akan berakhir pada bulan Juni. Karena Apple menjual iPhone dari inventaris yang telah dikumpulkan sebelumnya, dampak tarif yang sebenarnya kemungkinan baru akan terasa di kuartal berikutnya—kecuali jika lonjakan permintaan terus berlanjut akibat ketidakpastian harga di pasar.
Kondisi ini mencerminkan bagaimana kebijakan perdagangan internasional dapat memberikan dampak ganda—di satu sisi memukul saham dan rantai pasok, tapi di sisi lain memicu reaksi konsumen yang justru menguntungkan dari sisi penjualan. Apple kini berada di tengah badai kebijakan global yang menguji fleksibilitas dan kekuatan rantai pasoknya, serta kepercayaan konsumen terhadap brand yang selama ini dikenal inovatif dan premium.
Satu hal yang pasti, dinamika yang terjadi saat ini tidak hanya berpengaruh terhadap Apple secara langsung, tetapi juga terhadap pola belanja masyarakat global. Di tengah ketidakpastian ekonomi dan geopolitik, perilaku konsumen menunjukkan bahwa rasa takut kehilangan lebih besar dari rasa ingin menunggu—dan Apple, dengan seluruh kekuatan mereknya, berada di titik paling strategis untuk mengambil keuntungan dari situasi tersebut.