Tampang.com | Amerika Serikat kini menghadapi tantangan besar dalam sektor energinya. Seiring lonjakan permintaan daya dari pusat data (data center) milik perusahaan-perusahaan teknologi raksasa, infrastruktur kelistrikan nasional mulai menunjukkan tanda-tanda kewalahan. Fenomena ini dipicu oleh semakin masifnya penggunaan kecerdasan buatan (AI), yang membutuhkan komputasi intensif dan, tentu saja, pasokan listrik dalam jumlah besar.
Laporan eksklusif dari Reuters menyebutkan bahwa sebagian besar dari 13 perusahaan penyedia listrik terbesar di Amerika telah menerima permintaan pasokan daya yang jauh melebihi kapasitas eksisting mereka. Fakta mengejutkan lainnya adalah permintaan energi dari sektor data center berbasis AI bahkan kini melampaui kebutuhan listrik gabungan dari sektor rumah tangga dan perkantoran.
Kondisi ini menempatkan para penyedia listrik pada posisi yang sulit. Mereka harus membuat keputusan investasi dalam waktu dekat: apakah akan menyuntikkan dana miliaran dolar Amerika untuk membangun infrastruktur energi baru, atau memilih untuk menahan laju ekspansi dan berisiko tak mampu memenuhi kebutuhan masa depan. Menurut laporan, perusahaan listrik di AS bahkan telah menggelontorkan anggaran modal yang nilainya dua kali lipat dari total rencana investasi mereka untuk lima tahun mendatang — hanya untuk tahun ini saja.
Namun, keputusan untuk berinvestasi besar-besaran bukan tanpa risiko. Jika permintaan listrik dari data center terus melambung dan tak bisa segera diimbangi dengan peningkatan kapasitas, maka risiko pemadaman bisa saja terjadi. Sebaliknya, jika pembangunan infrastruktur dilakukan terlalu agresif tanpa permintaan nyata yang terserap, konsumen rumah tangga dan pelaku usaha biasa kemungkinan besar akan menanggung beban berupa kenaikan tarif listrik.