Situasi menjadi semakin kompleks ketika diketahui bahwa perusahaan teknologi sering kali mengajukan permintaan listrik secara bersamaan ke beberapa penyedia. Hal ini memicu sistem lelang proyek yang membuat proyeksi kebutuhan semakin bias dan sulit diprediksi.
Menurut Jon Gordon dari Advanced Energy United, banyak proyek data center yang masih bersifat spekulatif. Proyek-proyek ini sering kali belum memiliki kejelasan bentuk atau realisasi, tetapi sudah mengajukan klaim kebutuhan energi dalam jumlah sangat besar. Ketertutupan informasi menjadi masalah utama yang menyulitkan pihak penyedia energi dalam menyusun estimasi kebutuhan jangka panjang.
Sebagai contoh konkret, Oncor Electric — salah satu perusahaan utilitas besar di Texas — menerima permintaan listrik hingga 119 gigawatt (GW) untuk kebutuhan data center. Angka ini mencengangkan, mengingat kapasitas maksimal Oncor saat ini hanya seperempat dari angka tersebut. Di wilayah lain, Allentown juga menghadapi tantangan serupa: permintaan mencapai 50 GW, padahal kapasitas aktual mereka hanya 7,2 GW.
Menanggapi ketidakpastian tersebut, Oncor memutuskan hanya akan membangun infrastruktur jika pihak pemohon, dalam hal ini perusahaan data center, mampu menunjukkan letter of credit atau menyetor dana tunai terlebih dahulu. Pendekatan ini diambil untuk meminimalisasi risiko investasi yang tak terserap atau pembatalan proyek sepihak.
Namun, di sisi lain, perusahaan teknologi pun tak dalam posisi aman. Meskipun mereka berambisi membangun pusat data raksasa guna menopang era AI, kondisi ekonomi global yang tidak stabil menjadi hambatan baru. Naiknya suku bunga dan biaya konstruksi membuat pembangunan data center menjadi lebih mahal dan berisiko tinggi. Ada pula kekhawatiran bahwa generasi AI mendatang tidak akan memerlukan daya komputasi sebesar sekarang, sehingga infrastruktur listrik raksasa bisa saja menjadi mubazir.