Dunia Tak Lagi Dua Poros: Pemain Baru Muncul di Panggung AI Global
Selain dua raksasa—AS dan China—wilayah lain juga mulai unjuk gigi dalam pengembangan teknologi AI. Eropa, misalnya, telah menciptakan setidaknya tiga model AI kompetitif. Bahkan, perkembangan AI mulai terasa di kawasan Timur Tengah, Amerika Latin, hingga Asia Tenggara. Fakta ini menunjukkan bahwa era dominasi teknologi oleh satu atau dua negara mulai bergeser ke arah kompetisi global yang lebih merata.
Salah satu tren menarik yang turut mempercepat adopsi dan kolaborasi adalah berkembangnya model open weight. Model-model ini memungkinkan siapa saja untuk mengunduh dan memodifikasi sistem AI secara gratis. Meta dengan model LLaMA-nya menjadi contoh dari pendekatan terbuka ini, begitu juga dengan DeepSeek dan Mistral asal Prancis yang mengusung prinsip serupa.
Tidak ingin tertinggal, OpenAI juga menyatakan bahwa mereka akan merilis model berbasis open-source pada pertengahan tahun ini. Langkah ini dinilai sebagai upaya strategis untuk tetap relevan dan kompetitif di tengah maraknya tren keterbukaan model AI.
Open vs Closed: Kesenjangan Semakin Tipis
Jika sebelumnya model AI berbasis open-source dianggap memiliki kualitas jauh di bawah model tertutup (closed-source), kini anggapan itu mulai berubah. Laporan dari Stanford menunjukkan bahwa kesenjangan performa antara kedua jenis model ini mulai menipis secara signifikan.
Pada tahun lalu, perbedaan kualitas antara open-source dan closed-source AI mencapai 8%. Namun saat ini, kesenjangannya hanya tinggal 1,7%, menunjukkan peningkatan besar dalam kualitas model terbuka. Meski mayoritas model AI saat ini masih bersifat tertutup—sekitar 60,7%—tren ini diperkirakan akan terus berubah.
Model open-source yang semakin kuat memungkinkan komunitas global ikut serta dalam pengembangan dan perbaikan sistem AI. Hal ini berpotensi mempercepat inovasi, mendorong kolaborasi internasional, dan mendemokratisasi akses terhadap teknologi AI.