Menurut sang aktor, ironisnya film tersebut justru merupakan karya yang tulus dalam menggali sisi kemanusiaan dan keimanan Yesus. Dibandingkan dengan maraknya film-film eksploitasi berisi pornografi maupun kekerasan ekstrem pada era 1980-an, The Last Temptation of Christ sejatinya hadir dengan semangat spiritualitas yang lebih mendalam. Namun, kontroversi yang tercipta justru merembet menjadi isu antisemitisme, memunculkan stigma terhadap komunitas Yahudi di Hollywood.
Meski sempat menuai badai penolakan, Dafoe justru menempatkan film itu sebagai salah satu karya favorit sepanjang kariernya. Ia mengenang proses produksinya yang penuh keterbatasan justru melahirkan estetika yang murni dan jujur. “Kami memiliki dana yang sangat sedikit, kami mengambil gambar dengan sangat cepat, tanpa uang, tetapi itulah cara untuk syuting karena kami tidak terganggu oleh penampilan. Ada keindahan, keanggunan, dan kesederhanaan di dalamnya,” ujarnya.