Dalam masyarakat Muslim di seluruh dunia, kelahiran seorang bayi adalah momen yang penuh kegembiraan dan rasa syukur, disambut dengan berbagai tradisi. Salah satu tradisi paling universal dan bermakna adalah cukur rambut pertama bayi, atau yang dikenal sebagai Aqiqah (). Praktik ini bukan sekadar ritual potong rambut biasa; ia adalah sebuah persembahan syukur kepada Allah SWT atas karunia kehidupan baru, sekaligus sebuah harapan akan berkah dan perlindungan bagi sang buah hati dalam bingkai ajaran agama Islam.
Sejarah dan Makna Spiritual Aqiqah
Tradisi Aqiqah memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam, berakar pada sunah Nabi Muhammad SAW. Secara bahasa, "aqiqah" berarti "memutus" atau "memotong", merujuk pada pemotongan rambut bayi yang baru lahir. Namun, dalam konteks syariat, Aqiqah juga mencakup penyembelihan hewan ternak (kambing atau domba) sebagai bentuk syukur.
Menurut hadis Nabi Muhammad SAW, Aqiqah dianjurkan untuk dilaksanakan pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Jika tidak memungkinkan, dapat dilakukan pada hari ke-14 atau ke-21, atau kapan pun orang tua mampu. Hikmah di balik Aqiqah ini sangat mendalam:
- Pernyataan Syukur: Ini adalah cara bagi orang tua untuk mengungkapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Allah SWT atas anugerah yang sangat berharga, yaitu keturunan.
- Tebusan/Perlindungan: Dalam beberapa interpretasi, Aqiqah dipandang sebagai tebusan atau perlindungan bagi bayi dari berbagai bahaya dan penyakit, serta sebagai bentuk pengorbanan untuk keselamatan dan keberkahannya.
- Pengumuman Kelahiran: Aqiqah juga berfungsi sebagai pengumuman resmi atas kelahiran bayi kepada masyarakat luas, mengundang mereka untuk berbagi kebahagiaan dan mendoakan sang bayi.
- Penyucian dan Kebersihan: Pencukuran rambut bayi, selain simbolis, juga memiliki dimensi kebersihan. Rambut bayi yang tumbuh selama di dalam kandungan diyakini perlu dibersihkan untuk memulai kehidupan baru dengan kesucian.