Setiap tahun, umat Hindu di Bali merayakan Hari Raya Nyepi, yang dianggap sebagai momen suci untuk introspeksi dan penyucian diri. Di hari ini, segala aktivitas dihentikan. Jalanan kosong dari hiruk-pikuk kendaraan, bangunan-bangunan gelap tanpa cahaya, bahkan bandara pun terpaksa menghentikan operasionalnya. Selama 24 jam, baik penduduk lokal maupun pengunjung mengharuskan diri untuk tidak keluar dari tempat tinggal mereka, baik itu di rumah atau hotel.
Nyepi bukan sekadar ritual, tetapi juga merupakan kesempatan bagi umat Hindu untuk berdoa dan meminta kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, agar membersihkan manusia dan seluruh isinya dari sifat-sifat negatif dan hawa nafsu. Filosofi ini menjadikan Nyepi sebagai waktu refleksi yang sangat penting dalam kehidupan spiritual mereka.
Ada empat peraturan utama yang harus diikuti selama Nyepi, yaitu tidak menyalakan lampu, tidak melakukan aktivitas fisik, tidak bepergian atau keluar rumah, serta tidak menikmati hiburan. Momen ini sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian upacara yang lebih panjang, dimulai dengan Melasti, yang merupakan ritual penyucian, dilanjutkan dengan Tawur Kesangka untuk mengusir segala bentuk kejahatan, lalu Nyepi itu sendiri, dan akhirnya bermaaf-maafan melalui Ngembak Geni.
Meski demikian, menarik untuk dicatat bahwa tidak semua umat Hindu di Bali merayakan Nyepi dengan cara yang sama. Contoh yang menonjol adalah masyarakat Desa Tenganan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Kristen Satya Wacana, ternyata umat Hindu di Desa Tenganan tidak merayakan Nyepi. Mereka memandang Nyepi sebagai tradisi yang tidak wajib dijalankan oleh krama desa. Selain itu, mereka juga tidak melaksanakan upacara Ngaben, yang merupakan tradisi pembakaran mayat, melainkan lebih memilih untuk mengubur jenazah sesuai dengan keyakinan mereka.