Setelah hijrah ke Madinah, Al-Qur’an yang diturunkan mulai berisi lebih banyak tentang hukum, etika, dan aturan sosial. Fase ini berfokus pada pembentukan masyarakat Muslim yang berlandaskan pada ajaran Al-Qur’an. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu tidak hanya berfungsi sebagai pembaca, tetapi juga sebagai penafsir dan pelaksana ajaran yang diturunkan. Banyak ayat muncul sebagai respons terhadap situasi dan permasalahan yang dihadapi komunitas Muslim saat itu.
Selama proses penurunan, wahyu biasanya datang sebagai jawaban atas pertanyaan, pernyataan, atau situasi tertentu yang dihadapi oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an tidak hanya sekadar teks statis, tetapi dinamis dan relevan dengan konteks masyarakat dan kehidupan sehari-hari. Pengalaman pribadi Nabi Muhammad dan interaksinya dengan pengikut juga turut mempengaruhi penurunan wahyu.
Setelah Nabi Muhammad wafat, Al-Qur’an dikumpulkan dan disusun menjadi satu mushaf. Proses pengumpulan ini tidak terjadi secara instan; melainkan melalui berbagai tahapan dan melibatkan sahabat Nabi yang masih hidup, seperti Abu Bakar dan Umar. Pengumpulan ini bertujuan untuk menjaga keaslian dan keutuhan wahyu yang telah diturunkan. Kemudian, pada masa Khalifah Utsman, Al-Qur’an disusun dalam satu versi resmi untuk mencegah konflik di kalangan umat Islam yang mungkin muncul akibat perbedaan bacaan atau tafsir.