Seperti pada Pilkada 2012 dan Pilpres 2014, saya memilih diam usai Pemilu karena saya fikir permainan sudah usai. Kalah atau menang itu sudah ketetapan. Tapi Pilkada DKI 2017 memang agak beda. Mengapa perlu direspon dan dikritisi? Karena DKI Jakarta adalah Ibu Kota Indonesia, Ibu Kota negara yang saya cintai. Saya berhak berpendapat terhadap pemimpin Ibu Kota Negara saya. Selain itu, pola-pola kampanye impresif yang dilakukan perlu diimbangi dengan nalar kritis agar publik bersih dari intervensi sehalus apapun untuk menghirup sebebas-bebasnya udara demokrasi.
Saya berkepentingan merawat nalar kritis dan akal sehat publik demi demokrasi yang bermartabat. Cara-cara seperti ini kendati sah dan tidak dilarang, tapi tidak sehat bagi demokrasi dan masa depan solidaritas kita sebagai bangsa. Kalau kalah, ya kalah saja. Terima kemenangan lawan. Jika ada yang keberatan, ajukan sesuai mekanisme. Foke dan Prabowo dan pendukung mereka bisa dijadikan contoh betapa kekalahan itu pahit tapi harus diterima dengan lapang demi persatuan dan kesatuan bangsa. Selanjutnya ayo kerja, kerja, kerja....