Sementara Revolusi Kebudayaan menargetkan golongan elit, dampaknya meluas ke seluruh lapisan masyarakat. Setiap orang berpotensi dicap sebagai musuh negara—baik petani, buruh, maupun anggota partai itu sendiri. Bahkan orang-orang yang telah setia selama bertahun-tahun kepada Partai Komunis bisa menjadi korban kebangkitan gerakan ini. Rasa curiga melanda masyarakat, menyebabkan solidaritas mengalami keretakan yang mendalam. Lingkungan sosial yang sangat represif membuat orang-orang terpaksa saling mengkhianati satu sama lain untuk menyelamatkan diri mereka dari amukannya.
Mao Zedong sendiri berperan aktif dalam menyalakan api Revolusi Kebudayaan ini. Ia memperkenalkan "empat pilar" yang menjadi pedoman bagi Red Guard, yakni sosialisme, Marxisme-Leninisme, kolektivisme, dan revolusi. Dalam banyak pidatonya, Mao menggambarkan musuh sebagai ancaman terhadap kemajuan dan kestabilan negara. Ini menciptakan kondisi di mana masyarakat diajarkan untuk tidak hanya mencurigai, tetapi juga untuk memusuhi satu sama lain. Langkah-langkah ini mengukuhkan posisi Mao sebagai penguasa absolut, namun juga membawa banyak kerusakan bagi masyarakat.
Selama periode ini, propaganda menjadi alat utama untuk mendukung tujuan revolusi. Media, buku, dan film semua mendoktrinasi penduduk untuk berjuang melawan musuh-musuh ideologi. Setiap aspek kehidupan menjadi terpengaruh, dari pendidikan hingga seni, di mana semua karya budaya harus sejalan dengan prinsip-prinsip komunis. Hal ini menciptakan lingkungan di mana inovasi dan kreativitas terbunuh, menggantikan kebebasan berpendapat dengan ketakutan dan conformisme.