Tampang

Masihkah Makar Mengancam Jokowi?

7 Nov 2017 11:57 wib. 2.258
0 0
Masihkah Makar Mengancam Jokowi?

Polarisasi yang terjadi di Indonesia jauh lebih mengkawatirkan ketimbang di Mesir. Sebab, di Indonesia, polarisasi telah menghadapkan kelompok-kelompok berdasarkan agama dan etnis.

Dalam situasi terpolarisasi seperti yang terjadi saat ini, gesekan kecil antara dua kubu dapat menyulut kerusuhan besar. Kejadian ini bisa terjadi kapan saja dan di mana saja dengan atau tanpa rekayasa.

Dengan atau tanpa rekayasa, momentum terjadinya kerusuhan massal pastinya akan dimanfaatkan oleh sejumlah kelompok untuk menggolkan tujuannya, termasuk kelompok pro status quo sendiri.

Karenanya, kemungkinan terjadinya makar untuk menjatuhkan pemerintah tetap ada. Sebaliknya, "makar" atau "kudeta" abal-abal seperti yang dituduhkan kepada Erdogan pun mungkin terjadi.

Persoalannya, kudeta atau makar tidak akan berhenti sampai satu pihak dikalahkan oleh pihak lainnya. Karena untuk menjaga stabilitas pascakudeta, apalagi jika sempat terjadi baku bunuh, pemenang harus menghabisi atau menyingkirkan kelompok yang dipecundanginya. Di mana-mana dan dari dulu hingga sekarang selalu seperti itu.

Dalam revolusi Revolusi Februari 1917 di Rusia, Tsar Nikolai II Russia, keluarga dan pengikutnya dibantai. Usai Perang Dunia Kedua, seluruh pengikut Nazi diburu dan dibunuh, bahkan hingga berpuluh tahun kemudian.

Di Turki, setelah "kudeta miiter" dilancarkan pada 2016, pelaku dan simpatisan kudeta ditangkapi. Pendukung kelompok anti Erdogan yang tinggal di luar Turki diburu. Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Pascaperistiwa Gerakan 30 September 1965, anggota dan simpatisan PKI dibantai dan dipenjara.

Bahkan, Turki meminta semua negara, termasuk Indonesia, untuk menutup semua sekolah yang didirikan oleh Fethulah Gulem, tokoh yang dituduh sebagai otak dari kudeta militer Turki.

Dalam kisah Mahabarata, dinasti Kuru dihabisi dalam perang Baratayudha. Tinggal kelima Pandawa yang masih tersisa. Bahkan, Parikesit yang waktu perang masih dalam kandungan pun dibunuh (kemudian dihidupkan lagi oleh Kresna).

Demi menciptakan stabiitas dan menjaganya, tidak ada yang salah dengan pemusnahanyang dilakukan oleh pemenang terhadap pihak yang dikalahkannya. Sebab, justru tanpa adanya pembasmian, maka upaya menciptakan stabilitas akan mendapat banyak hambatan dan rongrongan. Bahkan, pihak yang kalah dapat kembali merebut kekuasaan atau kudeta dibalas dengan kudeta.

Tetapi, perebutan kekuasaan dalam artian dengan paksaan belum tentu diakhiri dengan pembasmian pihak yang tersingkir oeh pihak pemenang.

Biasanya, pembasmian terpaksa dilakukan jika, pertama, perbutan kekuasaan diiringi gerakan kelompok bersenjata. Kedua, kekuatan angkatan bersenjata atau institusi pemegang senjata terbelah. Ketiga, polarasasi yang sulit dicairkan.

Dengan terjadinya polarisasi, maka penyingkiran terhadap lawan politik atau yang dianggap lawan politik pun pastinya akan dilakukan. Dalam peristiwa ini, netizen yang dianggap berpihak juga menjadi incaran. Tidak mengherankan jika beberapa waktu yang lalu sempat beredar rumor tentang adanya pendataan netizen.

Pertanyaannya, siapkah bangsa ini mengulang kembali masa kelamnya pasca Gerakan 30 September 1965 atau setidaknya perburuan dan pemenjaraan massal seperti yang dialami oleh rakyat Turki anti-Erdogan?

<123>

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

POLLING

Dampak PPN 12% ke Rakyat, Positif atau Negatif?