Kudeta Mali 2020 menjadi salah satu momen penting yang membuat perhatian banyak pihak, terutama di kalangan masyarakat internasional. Mali, sebuah negara di Afrika Barat yang dikenal dengan keindahan budaya dan alamnya, telah berulang kali mengalami pergolakan politik dan ketidakstabilan. Kudeta ini bukanlah yang pertama kali bagi Mali, melainkan salah satu dari serangkaian peristiwa yang menunjukkan kompleksitas masalah politik yang dihadapi negara tersebut.
Pada bulan Agustus 2020, sekelompok tentara melakukan kudeta dan menggulingkan pemerintahan Presiden Ibrahim Boubacar Keïta. Tindakan ini terjadi setelah protes besar-besaran yang diikuti oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah, terutama terkait dengan korupsi,kemunduran ekonomi, dan respon yang dianggap tidak memadai terhadap kelompok bersenjata yang terus meningkat. Pergolakan ini tidak hanya mengubah tatanan politik, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran akan dampak lebih lanjut terhadap stabilitas Mali dan regional Afrika Barat.
Sejak memperoleh kemerdekaan dari Prancis pada tahun 1960, Mali telah menghadapi berbagai tantangan yang menjadikannya tidak pernah stabil. Kudeta, konflik etnis, dan kekerasan yang disebabkan oleh sejumlah kelompok bersenjata menjadi masalah yang sulit diatasi. Setelah kudeta 2020, Mali dihadapkan pada tantangan untuk membangun kembali kepercayaan publik dan menciptakan pemerintahan yang efektif. Situasi ini dipersulit oleh kekuatan politik dan sosial yang saling berkonflik, terutama di utara Mali, tempat di mana pergerakan separatis berupaya untuk menuntut otonomi.