Agama berperan signifikan dalam konflik ini. Di satu sisi, ajaran Buddha mengajarkan kasih sayang dan toleransi, tetapi di sisi lain, ada interpretasi keras yang dipakai oleh sebagian kelompok nasionalis Buddha untuk membenarkan tindakan kekerasan terhadap Rohingya. Ideologi ini sering kali dipicu oleh propaganda yang menyebarkan ketakutan dan kebencian terhadap komunitas Muslim. Pemerintah Myanmar, alih-alih menanggapi dengan pendekatan membangun perdamaian, justru memanfaatkan situasi ini untuk mempertahankan kekuasaan mereka dan mengalihkan perhatian publik dari masalah-masalah domestik lainnya.
Sejalan dengan perkembangan ini, peran organisasi internasional dan negara-negara lain dalam penanganan krisis Rohingya juga patut diperhatikan. Jingga di salah satu pertemuan PBB, Malaysia dan Indonesia, dua negara mayoritas Muslim, memberikan suara keras untuk mendukung pemulihan hak-hak Rohingya. Namun, respons global sering kali tampak lambat dan tidak memadai, mengingat urgensi situasi yang dihadapi oleh jutaan pengungsi Rohingya. Anehnya, dalam konteks ini, isu kemanusiaan telah kerap kali dikesampingkan oleh politik internasional.
Di tengah krisis ini, etnis Rohingya berjuang untuk tidak hanya bertahan hidup tetapi juga mendapatkan pengakuan dan hak yang telah dirampas dari mereka. Mereka sering kali dipandang sebagai pengungsi yang tidak diinginkan di negara-negara yang menjadi tujuan mereka. Banyak yang menghadapi diskriminasi dan kekerasan, bahkan ketika mereka berusaha menyelamatkan diri dari situasi yang lebih buruk di Myanmar.