Untuk maju sebagai capres pada Pilpres 2019, sudah tidak mungkin lagi bagi Gatot Nurmantyo untuk berkesempatan mendirikan partai politik. Dan, lantaran tidak ada aturan yang mengakomodasi capres independen, satu-satunya jalan bagi mantan Panglima TNI yang dicopot dari jabatannya pada Desember 2017 ini adalah dengan diusung oleh gabungan parpol peserta Pemilu 2014.
Pertanyaannya, gabungan partai mana yang paling mungkin mengusung Gatot Nurmantyo sebagai calon RI 1?
Peta politik tanah air saat ini dikuasai tiga pemain politik besar: kutub Megawati, kutub SBY, dan kutub Prabowo. Ditambah lagi dengan berlakunya aturan presidential threshold 20 % (kursi) atau 25 % (suara). Maka, magnet ketiga kutub ini pun menjadi semakin kuat dalam menarik parpol-parpol lainnya untuk bergabung.
Dalam Pilpres 2019 nanti, kutub Megawati kemungkinan besar akan kembali menjagokan Jokowi sebagai capres. Dengan demikian kemungkinan Gatot Nurmantyo untuk menjadi calon RI 1 dari kutub ini sangat kecil.
Sementara, untuk menjadi cawapres, Gatot harus bersaing dengan sejumlah tokoh lainnya, terutama seniornya, Jenderal (Purn) Moedoko yang saat ini sudah masuk ring istana sebagai Kepala Staf Kepresidenan..
Melihat rekam pemberitaan, keberadaan Moeldoko di Istana merupakan pintu penghalang bagi Gatot Nurmantyo. Dalam polemik impor 5.000 pucuk senjata oleh institusi non-militer, misalnya, Moeldoko mengeluarkan pernyataan kerasnya yang dianggap ditujukan kepada Gatot. Belum lagi, Gatot disebut-sebut sebagai rival Moeldoko dalam persaingan menuju Angkatan Darat 1.
Semakin merapatnya Moeldoko dengan Jokowi membuat peluang tokoh-tokoh lainnya sebagai cawapres semakin menipis. Apalagi, Moeldoko sempat digadang-gadang untuk mendampingi Jokowi saat Pilpres 2014 Ketika itu Agum Gumelar yang saat ini menjabat Wantimpres memberikan dukungannya kepada Moledoko.
Peluang Gatot Nurmantyo untuk mendamping Jokowi bisa dikatakan sudah musnah setelah ia dicopot dari jabatannya orang nomor 1 di kemiliteran RI beberapa bulan sebelum memasuki masa pensun. Pencopotan ini menujukkan adanya resistensi pihak Istana atas sikap yang diambil Gatot.
Kalau melihat tiga pilpres sebelumnya, di mana semua mantan tentara yang maju pasti bergandengan dengan sipil, maka Prabowo yang mantan militer kecil kemungkinan menggandeng Gatot.
Dengan demikian, peluang Gatot Nurmantyo untuk didukung Gerindra bahkan hilang sama sekali jika Prabowo maju sebagai capres. Kalau pun nekat militer-militer, posisi yang ditawarkan kepada Gatot hanya cawapres.
Berbeda dengan kutub Megawati dan kutub Prabowo, kutub SBY tidak memiliki capres potensial yang berasal dari internal partainya. Situasi yang dihadapi SBY ini mirip dengan yang dialaminya pada 2014.
Popularitas AHY memang terus meroket seiring dengan roadshow yang dijalaninya ke sejumlah kota. Elektabilitas mantan cagub DKI 2017-2023 ini pun menanjak. Masalahnya, AHY memiliki sejumlah titik lemah yang membuatnya tidak mungkin sanggup Jokowi dan Prabowo.
Paling banter, AHY akan diturunkan sebagai cawapres. Kalau rencana SBY demikian, maka peluang untuk Gatot Nurmatyo pun tertutup. Sekali lagi dengan mengacu pada pengalaman tiga pemilu sebelumnya.
Selain itu, SBY tidak mungkin lagi menggelar ajang pencarian capres lewat mekanisme konvensi seperti pada tahun 2014 pun sangat tidak mungkin. Masalah utamanya adalah keterbatasan waktu di mana pendaftaran capres-cawapres sudah ditutup pada Agustus 2018.
Jadi, Gatot Nurmantyo tidak mungkin melamar sebagai peserta konvensi sebagaimana Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Gita Wiryawan, dan lainnya.