Dan, peluang Gatot untuk dipinang Demokrat pun baru tercipta jika SBY tidak menurunkan AHY. Namun demikian, SBY pastinya berpikir seribu kali untuk menurunkan AHY meskipun hanya sebagai calon RI 2. Sebab, kekalahan AHY dalam Pilpres 2019 bakal membuahkan noda yang sulit terhapus.
Tetapi, dari segala macam kemungkinan, sebenarnya peluang Gatot Nurmantyo dapat maju dalam pagelaran Pilpres 2019 belumlah sepenuhnya tertutup.
Peluang Gatot Nurmantyo yang mulai mempersiapkan masa pensiunnya ini muncul jika dan hanya jika Prabowo melakukan manuver tajam.
Dalam manuver tajamnya itu, Prabowo memilih untuk menempatkan dirinya bukan sebagai capres, tetapi sebagai king maker. Artinya, SBY memberikan kesempatan pada Gatot Nurmantyo untuk menggantikan posisinya sebagai calon presiden.
Manuver Prabowo ini akan menjadi ancaman besar bagi kutub Megawati dan kutub SBY mengingat kutub Prabowo memiliki dua kekuatan yang memiliki tingkat keterpilihan yang tinggi.
Bisa dibilang, bergabungnya Gatot Nurmantyo dengan kutub Prabowo ini mirip dengan bergabungnya Deddy Mizwar dengan Dedi Mulyadi dalam Pilgub Jabar 2018.
Memang sampai detik ini indkasi manuver Prabowo itu belum nampak. Namun jika sedikit saja Prabowo mengeluarkan sinyal akan bermanuver, pastinya kutub Megawati, terlebih kutub Prabowo akan bereaksi cepat.
Kalau Gatot Nurmantyo sudah tidak mungkin lagi dirangkul ke dalam kutub Megawati untuk diduetkan bersama Jokowi, maka kemungkinan besar Gatot akan digaet SBY.
Sayangnya, suara dan kursi yang dimiliki Partai Demokrat tidak memenuhi persyaratan presidential threshold. SBY membutuhkan setidaknya dua parpol lainnya sebagai pendukung (Dengan asumsi Golkar tetap berada di belakang Jokowi).
Di situlah akan terjadi komunikasi antara Cikeas dengan parpol-parpol yang berkoalisi dengan poros Teuku Umar. Dari enam parpol yang berbaris bersama PDIP, PAN yang paling bisa dipastikan akan bergabung dengan Demokrat. Tetapi, PAN saja tidak cukup. SBY membutuhkan tambahan setidaknya satu parpol lagi.
Namun demikian, ada satu faktor yang tidak bisa dilepaskan terkait pengkutuban ini. Jika diperhatkan, jenderal-jenderal alumni konflik 1998 bergaung ke dalam dua kutub. Jenderal pro-Wiranto bergabung ke dalam kutub Megawati. Sementara jenderal pro-Prabowo berkumpul bersama Prabowo. Dan, SBY termasuk jenderal pro-Wiranto.
Jenderal pro-Wiranto pastinya tidak ingin Prabowo menjadi RI 1. Karenanya, tidak mengherankan jika sejak awal 2013, kader-kader muda Demokrat sudah menggalang kekuatan untuk mengganjal pencapresan Prabowo dalam Pilpres 2014.
Dari latar beakang tersebut dapat ditarik kesimpulan jika SBY akan diberi pasokan parpol yang dibutuhkannya. Dengan demikian, Gatot Nurmantyo dapat maju sebagai capres yang diajukan oleh Demokrat dan parpol-parpol lainnya.
Majunya Gatot Nurmantyo sebagai pesaing bagi Prabowo pastinya sangat tidak diharapkan oleh poros Hambalang. Sebab, Gatot dipastikan akan menggerus tingkat keterpilihan Prabowo. Akar rumput PKS, misalnya, lebih cenderung mendukung Gatot ketimbang Prabowo.
Pertanyaannya, apakah Gatot Nurmantyo hanya pasif menunggu pinangan? Pastinya tidak. Kalau saja mampu menggaet 2 parpol, maka nilai tawar Gatot dengan sendirinya akan meningkat. Namun untuk bisa mengaet sedikitnya 2 parpol, Gatot harus memiliki tingkat elektabilitas yang meyakinkan.
Masalahnya, tanpa adanya strategi yang benar-benar maknyus Gatot tidak memiliki cukup waktu untuk meningkatkan elektabilitasnya sampai pertengahan Agustus 2018.