Bulan Maret 2018 nanti Jenderal Gatot Nurmantyo memasuki masa pensiunnya. Berbeda dengan mantan Panglima TNI sebelumnya, mulai dari era Soekarno sampai masa kepresidenan SBY, Gatot memiliki peluang besar untuk melanjutkan "karir" nya sebagai Presiden RI.
Konon, menurut sejumlah rilis lembaga survei, meski nama Gatot sudah masuk ke bursa calon presiden untuk Pilpres 2019 nanti, namun tingkat elektabilitasnya masih di bawah Prabowo Subianto, apalagi Jokowi yang kokoh bertengger di posisi puncak dengan kisaran 54 persen. Bahkan, sejumlah lembaga survei menyebut tingkat elektabilitas Gatot masih kalah dibanding Agus Harimurti Yudhoyono.
Jika mengacu pada rilis survei, elektabilitas yang dimiliki Gatot sampai Januari 2018 jauh lebih balik ketimbang yang dipunyai Jokowi pada Januari 2013.
Ketika itu nama Jokowi belum masuk dalam bursa capres 2014. Nama Jokowi baru disebut dalam sejumlah rilis survei sejak Agustus 2013. Saat itu pun elektabilitas Jokowi masih jauh di bawah Prabowo. Toh, pada akhirnya, Jokowi mampu meraih 53,15 % suara mengalahkan Prabowo yang didukung 46,85 % suara pemilih.
Kemenangan Jokowi tersebut tidak lepas dari peran media yang gencar memberitakan segala hal positif tentang Jokowi dan mengabaikan segala hal negatif terkait Jokowi yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Akibatnya, popularitas Jokowi lebih banyak dihasilkan oleh sentimen positif ketimbang sentimen negatif yang hanya dilontarkan oleh media abal-abal dan akun-akun media sosial. Tingginya net sentimen (sentimen positif dikurangi sentimen negatif) inilah yang mengakibatkan tingkat elektabilitas Jokowi juga tinggi.
Situasi yang dihadapi Gatot Nurmantyo di tahun 2018 sagat jauh berbeda dibanding situasi yang melingkupi Jokowi pada lima tahun yang lalu. Saat ini, setelah meletakkan tongkat komando tertingginya di ketentaraan pada Desember 2017, sosok Gatot sudah terpental keluar dari sorotan media, termasuk media sosial.
Demikian juga jika dibanding dengan SBY pada 2004. SBY yang mengundurkan diri sebagai Menko Polkam justru semakin menjadi sorotan media. Sama seperti kepada Jokowi jelang Pilpres 2014, pada 2004 pun media membingkai SBY dengan sudut positif. Sebaliknya, Megawati dan capres-capres lainnya diframing negatif.
Dalam Pilpres 2014, media terbelah dua. Ada yang memihak Jokowi. Ada pula yang mendukung Prabowo.
Saat ini malah keberpihakan media terlalu kentara. Sebagai contoh, media ramai menyoroti pengakuan La Nyalla Matalitti tentang Prabowo yang memalaknya Rp 40 milyar. Tetapi, setelah La Nyalla membantah pengakuannya sendiri, media seolah tidak mengetahuinya.
Sebaliknya, kepada Jokowi media mengekspos habis-habisan sampai ke remeh temeh yang tidak perlu. Misalnya, pemberitaan tentang Jokowi yang datang ke stasiun dengan hanya memakai sandal jepit dan kaos oblong.
Dalam pemberitaan tentang mutasi perwira TNI yang dilakukan oleh Gatot Nurmantyo pada Desember 2017, media memosisikan Gatot sebagai pesakitan. Gatot dinarasikan sebagai pembangkang. Ada juga yang menuding Gatot tengah menyiapkan bom waktu. Media lupa pada proses serta kronologis keputusan mutasi yang diambil Gatot.
Pertanyaannya, apakah karena Gatot Nurmantyo nyaris tidak mendapatkan dukungan media lantas peluangnya untuk memenangi Pilpres 2019 pun pupus?
Sejak pemilu presiden digelar secara langsung pada 2004, seluruh capres yang bertarung memiliki kartu tanda anggota partai politik, Malah, kecuali Jokowi, seluruh capres duduk dalam kepengurusan partai. Sebagian lagi, diketahui sebagai pendiri parpol pengusungnya.