Dalam Pilpres 2004, SBY-JK yang diusung Demokrat mampu mengungguli penantangnya yang diajukan parpol-parpol yang lebih besar dari Demokrat. Wiranto yang diusung partai pemenang Pileg 2004 bahkan harus tersingkir di putaran pertama.
(Pilpres 2004 belum menerapkan presidential threshold (PT), PT baru diterapkan pada Pilpres 2009. Aturan PT ini digagas oleh pemerintah SBY dan disetujui DPR RI).
Dalam Pilpres 2009, suara yang diraih SBY-Boediyono melebihi raihan suara Demokrat. Dalam Pilpres yang sama perolehan suara pasangan JK-Wiranto lebih kecil ketimbang suara yang diraih Golkar-Hanura.
Demikian juga dengan Jokowi-Ahok yang mampu memenangi Pilgub DKI 2012 walau hanya didukung PDIP dan Gerindra. Sementara Fokw-Nara mendapat dukungan dari Demokrat, PAN, PKB, Golkar, PPP, PKS, dll.
Itulah sederetan bukti faktor figur lebih menentukan ketimbang parpol. Parpol, kecuali PKS, tidak memiliki kemampuan untuk mengarahkan kontituennya.
Dalam Pilpres 2014, kata “sinting” yang diucapkan kader PKS Fahri Hamzah jelang masa tenang, menjadi blunder fatal bagi Prabowo-Hatta. Gegara ucapan Fahri, elektabilitas Prabowo yang melesat dari yang hanya di bawah 20 % mendadak terhenti. Blunder Fahri itulah yang disebut-sebut sebagai biang kekalahan Prabowo-Hatta.
Ujuang pun lupa jika dalam berbagai pemilu dengan tingkat persaingan yang ketat, kader Golkar tidak pernah berada dalam satu gerbong. Ketika Pilpres 2004 kader Golkar berpencar di seluruh kandidat. Demikian juga dalam Pilpres 2009, Pilpres 2014, dan Pilgub DKI 2017.
Dan, sebagaimana parpol-parpol lain, elit-elit Golkar tidak mampu mengarahkan suara kontituennya untuk mendukung calon yang diusungnya. Jadi, ARB pun tidak akan sanggup mengarahkan kontituennya untuk memberikan suaranya pada Prabowo dalam Pilpres 2019.
Dukungan ARB, malah bisa menjadi titik lemah bagi calon yang didukungnya. Sebab, mau tidak mau, ARB akan dilekateratkan dengan bencana lumpur Lapindo. Sama seperti Ahok yang akan menjadi sasaran antara untuk menyerang Jokowi, begitu juga dengan ARB.
Dan, mungkin Ujang lupa, jika saat Pilpres 2014, baik Prabowo maupun Jokowi menolak pinangan ARB untuk menjadi cawapres. Prabowo lebih memilih Hatta Rajasa meski elektabilitasnya lebih rendah dari ARB.