Dan Jokowi lebih memilih berpasangan dengan JK yang namanya pun jarang muncul dalam sejumlah rilis survei. Sebab saat itu tidak ada yang menduga JK akan kembali turun gunung.
Bahkan, karena terkait Lapindo, sejumlah kader Golkar meminta ARB untuk mundur dari Ketum Golkar sebelum Pileg 2014.
Namun demikian, dengan kepemilikannya atas sejumlah media, sosok ARB tetap akan menjadi incaran bagi kontestan pemilu. Hanya saja, memiliki akses dan asset kesejumlah media, dalam Pilpres 2014, sosok ARB jarang ditampilkan.
Dan lagi pula, saat ini ARB bisa dikatakan bukan siapa-siapa di Golkar. ARB nyaris tidak memiliki pengaruh pada partai berlambang pohon beringin ini. Itulah kenapa saat Pilgub DKI 2017 nyaris tidak pernah keluar pernyataan dari ARB.
Sampai saat ini, tokoh Golkar yang masih memiliki pengaruh besar hanyalah Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Selain keduanya, elit-elit Golkar, termasuk ARB, tidak memiliki pengaruh yang kuat.
Lucunya lagi, Ujang seolah terobsesi jika SBY dan Prabowo pasti berkoalisi. Ujang mungkin lupa jika untuk Pilpres 2014, SBY menggelar konvensi untuk menjaring bakal capres untuk partainya. Dan ketika strategi ini gagal, SBY memilih untuk netral.
Artinya, SBY berupaya agar Demokrat dapat mengusung capresnya sendiri. Jika tidak menemukan calon yang layak dari internal Demokrat. SBY mencarinya dari luar. Sederhananya, SBY tidak melepas setiap kesempatan yang datang kepadanya.
Demikian juga dengan Pilpres 2019. SBY akan memanfaatkan setiap celah untuk mengusung calon dari partainya sendiri. SBY bahkan akan lebih leluasa jika Pilpres 2019 tanpa PT. Karena SBY tidak perlu mencari dukungan parpoi lainnya untuk memenuhi syarat ambang batas.